Terjebak di Pulau (part 3)

Posted by :

Unknown

Date:

Jumat, 23 Mei 2014

0 komentar
"Aduuh ya ampun.." Miku terbangun dan memegangi kepalanya. Ia pusing sekali. Semalaman ia menangis dan sepertinya ini sudah jam.. Entahlah. Mungkin jam makan siang sudah lewat. Di sebelahnya Rin berbaring tidur dengan mata yang masih sembap. Maklum, kemarin malam ia dan yang lain menangis histeris tentang kehilangan Len. Mereka sudah merasa tidak sanggup jika harus kehilangan satu orang lagi. Dari tujuh menjadi empat sudah cukup parah baginya. 
Miku melihat sekeliling. Ia merasa ada yang aneh. Ada yang hilang. Apa ya? Koper-koper masih lengkap, jendela suite belum dibuka, Luka ada, Rin ada, Len?? Oya.. Len jatuh dari kapal tadi malam. Kaito?? Hilang 5 bulan lalu. Gakupo? Bersama Kaito. Siapa lagi ya? Tadi malam ia tidur di sebelah Rin. Dan Luka di sebelah Meiko. Oya! Meiko!! Meiko dimana?? Miku celingukan. Dan ia sadar, tas darurat Meiko, tas kecil yang selalu ia bawa kemana-mana, hilang. Miku panik. Ia turun dari kasur dan pelan-pelan membangunkan Luka.
"Luka.. Kak Lukaaaa!!" bisik Miku sambil mengguncang-guncangkannya.
"Hah? Kenapa Miku?" Luka langsung bangun.
"Kak Meiko.. Kak Meiko ilang kak.." Miku menjelaskan. "Dia nggak ada di kamar."
"Lagi di kamar mandi kali." kata Luka, masih sangat mengantuk.
"Lampunya mati Kak Luka.. Kak Meiko nggak ada." jawab Miku panik. "Aduuh.. Kak Meiko kemanaaa??"
"Masa' iya?" Luka turun dari tempat tidur. Dengan sempoyongan ia berjalan keliling suite, membuka lemari pakaian, membuka pintu kamar mandi, mengecek kelengkapan koper dan tas, bahkan membuka jendela suite. Tapi Meiko tak ada di sana. Luka terdiam di tengah ruangan, kemana Meiko? Tak mungkin Meiko meninggalkan mereka hanya untuk sarapan atau hanya untuk keluar kapal, itu bukan kebiasaan Meiko. Atau.. Jangan-jangan.. 
Miku membangunkan Rin. "Rin.. Rin.." Miku menepuk lengannya pelan.
"Hmmm.." Rin membuka matanya.
"Bangun Rin.." Miku mendesaknya.
"Kenapa sih kak??" Rin bertanya, ia duduk dan mengusap-usap matanya. "Tante Luka kenapa?" Setelah celingukan, Rin heran melihat Luka membeku dan pucat di tengah ruangan.
Luka menengok pelan-pelan ke arah Rin. Mukanya horor -_- Seolah-olah dia baru saja melihat hantu. Tiba-tiba Luka mencari lebih teliti di sekeliling ruangan. Ia membuka dan menutup laci-laci semua lemari di suite itu, lalu, masuk ke kamar mandi. Membuka shower curtain, lalu menengok ke wastafel. Wastafel!
Di dalam wastafel, Meiko meninggalkan sepucuk surat. Luka mengambilnya dengan gemetar. Beberapa detik kemudian, Rin dan Miku sudah berdiri di sampingnya, dan mereka bersama-sama membaca surat itu.

Aku pergi nyari Kaito, Gakupo, dan Len. Kumohon kalian jangan kemana-mana, tetaplah di cruise. Jangan coba ikutin aku, jangan pernah turun dari kapal. Aku nggak mau kita terpencar. Mudah-mudahan mereka masih hidup, aku udah ijin sama Nahkoda Oliver. Aku yakin dia pasti ngasih izin dan ngasih sarana. Siapa sih yang bisa nolak permintaanku? Tenang aja. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Cruise kita berhenti di Maladewa kan? Kutemui kalian di sana.

Jaga diri baik-baik yaa :D
Meiko

Miku, Luka dan Rin hanya terdiam memelototi surat itu. Tidak percaya apa yang baru saja mereka baca. Lalu Luka menengok ke arah jendela..
"Hati-hati, Meiko."

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

"Woohoooo!!" Meiko berteriak di atas speedboat. Ia dan Valshe sudah berada di speedboat. Yang melaju cepat di laut lepas. Percikan air sudah setengah membasahi Meiko dan Valshe, dan Valshe dengan sembrono membelok-belokkan speedboat, padahal mereka tidak punya pengaman apa-apa selain pelampung. Dasar cewek-cewek pemberani dan tomboy!
"Asik kan Meiko!! Tunggu! Kamu belom ngerasain ini!!" Valshe mengencangkan speedboat dan mereka melaju turbo speed dan berakhir berputar-putar di laut membentuk pusaran air.
"HAHAHAHAHAHA!!" Meiko tertawa lepas. Mereka ini bagaimana? -_- "Udah udah Valshe. Aku nggak mau mati dulu. Jangan nantang maut. Aku masih harus nyelamatin keluargaku!!" serunya.
"Hahaha iya maaf Meiko. Udah lama aku nggak gila-gilaan di speedboat." Valshe tersenyum dan memelankan speedboat.
"Where did you get this thing?? It's awesome.." Meiko memuji-muji perahu yang sedang dinaikinya itu.
"Haha. Aku dapet ini dari perusahaan Kiyoteru Inc. Kamu tau? Perusahaan yang kerjaannya bikin alat-alat canggih." Valshe menjelaskan, mengelus-elus pinggiran speedboat. "Aku kan kerja di semacam tim yang nyari orang ilang, timku kerja sama sama perusahaan Pak Kiyoteru, jadi semua anggota dapet ini. Ini desain tercanggih abad ini."
"Oooo iya. Aku tau perusahaan itu. Dia juga yang bikin voice synthesizer buat Vocaloid. Makanya suara kami kayak komputer semua." Meiko tersenyum.
Okay.. Sebagai penjelasan. Dalam beberapa detik mereka sudah menjadi sahabat baik. Maklum, mereka adalah cewek-cewek tomboy yang kebetulan paling suka nekat-nekatan. Tapi nggak kesampean. Jadi sekalinya ketemu.. Begini deh..
"Oke.. Jadi, kita mau mulai pencarian dimana?" tanya Meiko.
"Yang jelas di pulau-pulau kecil di sekitar sini. Kadang aku bingung, di pulau-pulau sekitar sini banyak binatang yang.. Nggak semestinya di situ." Valshe mengangkat sebelah bahu.
"Misalnya?" Meiko penasaran.
"Hmmm.. Entahlah.. Aku pernah liat macan kumbang, gorila dan serigala di satu pulau. Kalo dipikir-pikir, agak nggak nyambung kan?" jelasnya.
"Entahlah.. Aku bukan zoolog. Hahaha." Meiko tertawa.
"Kamu bawa apa aja di tas?" Valshe melirik tas Meiko.
"Hmmm.." Meiko membuka risletingnya. "Dompet, baju 1 pasang, dan entah kenapa aku bawa tongkat baseball di sini -_- Terus.. Tongkat golf lipat. Oya.. Aku bawa teropong. Dan, surprisingly tali." Meiko terkejut melihat seisi tasnya.
"Kamu kayak udah siap ekspedisi aja." Valshe tersenyum miring. "Tongkat golf lipat? Tongkat baseball?"
"Aku juga bingung kenapa aku bisa kepikir bawa tongkat baseball sebelum liburan. Tapi, yang jelas di cruise kan ada minigolf." jawab Meiko. "Intinya, aku ngambil segala yang bisa dijadiin senjata."
"Bagus lah.. Persiapanmu mateng. Soalnya aku cuma bawa pisau lipet, kompas sama beberapa kait." Valshe menepuk-nepuk tas pinggangnya.
"Yaah.. Mudah-mudahan cukup." Meiko mengangguk pelan. Speedboat berhenti, sekarang mereka sampai di satu titik dimana mereka bisa melihat titik-titik pulau kecil di kejauhan. Kira-kira ada 5 pulau yang tersebar. Meiko mengeluarkan teropong. "Jadi, kita mulai dari mana?" Ia memberikan teropong itu pada Valshe.
Valshe memosisikan lubang teropong di depan matanya. Mengamati satu pulau dengan yang lainnya. "Kita mulai dari pulau itu?" Ia menunjuk salah satu pulau di arah barat laut, menyerahkan teropong pada Meiko.
"Oke." Meiko mengangguk-angguk, dan mengintip di teropong. Pulau itu terlihat penuh hutan, dan ada sesuatu yang terlihat lebih tinggi di tengah pulau, mungkin pohon raksasa. "Kenapa mulai dari situ?"
"Firasat." Valshe tersenyum.
Meiko menatapnya dengan tatapan 'oya?'.
"Ahahaha nggak bercanda.." Valshe tertawa. "Tadi kan kita berlayar dari barat ke timur. Jadi kemungkinan paling besarnya ya di pulau situ. Karena biasanya arus di perairan sini ke arah utara."
Meiko melirik Valshe, terkejut atas kemampuannya. Dan Valshe hanya tersenyum. "Tapi kalo nggak ada di situ, pulau lain?" tanya Meiko.
"Iya." jawab Valshe. "Tenang.. Persediaan bensin kita banyak, plus kapal ini dirancang biar super irit bensin."
Lalu mereka melaju ke pulau itu. Nah.. Apa menurutmu pulau itu tempat Kaito, Len dan Gakupo terdampar?

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

Gakupo sudah pulang dari perburuan, kira-kira tepat ketika matahari sepenuhnya tenggelam. Walaupun membawa tombak ketika berangkat, waktu pulang ternyata dia hanya membawa sesisir pisang dan 3 buah kelapa. Ia sudah kapok bakar-bakaran di waktu malam. Ketika ia dan Kaito pertama kali melakukannya, mereka berakhir dikejar-kejar macan kumbang dan terpaksa sembunyi di gua. Jadi mereka kapok. Untuk makan malam, sebaiknya makan buah saja.
"Kak.. Aku mau bantuin!!" sahut Len bersemangat ketika Kaito sedang membabat bagian atas buah kelapa.
"Jangan!!" Gakupo melarang dengan dramatis.
"Ah kamu ini lebay banget sih Po!" tegur Kaito. "Adekku ini udah besar. Dia juga bakal tinggal sama kita, dia harus belajar banyak."
"Adek?" Gakupo mengangkat alis.
"Iyaaaa.." teriak Kaito imut-imut. "Itu julukanku dan dia di apartemen tempat kita tinggal." Kaito mengumumkan sambil memeluk-meluk Len. Oke, sikap kekanak-kanakannya kambuh..
"Hei kak.. Nggak usah lebay gitu -_-" Len mendorong Kaito.
Gakupo menggelengkan kepala. Illfeel -_- Dulu waktu pertama kali kenal Kaito, atau pertama kali kenal Biru lebih tepatnya, Kaito kekanak-kanakan, suka meluk-meluk, ceroboh, payah lah. Sampai Gakupo memarahinya, barulah Kaito menghentikan sikapnya itu. Tapi semenjak ada Len.. Tidaaak!!
"Ini udah gelap Kaito. Bahaya kalo baru pengalaman pertama dan Len langsung dikasih tugas mbabat kelapa. Mending kamu ngambil air Len." Ia menunjuk jendela berkatrol. Lalu Gakupo bersantai di jendela barat.
"Om Upo overprotektif ya.." bisik Len. Kaito hanya menggeleng mengisyaratkan agar Len diam.
Setelah semua selesai mereka makan. Masing-masing sesisir pisang dan 1 kelapa. Mereka makan dalam diam, dan setelah mereka selesai, tak terasa hari sudah cukup malam. Bulan purnama memendarkan cahaya lembutnya di langit.
Kresek kresek.. Terdengar suara daun bergemerisik. Len spontan langsung menengok ke jendela selatan. Dimana masih terlihat daun-daun di cabang pohon yang besar. Dan.. Dan..
"K.. Kak Kaito.." Len berbisik, gemetar.
"Apa Len?" tanya Kaito.
Gakupo berdiri dan dengan sigap mengambil tombaknya. Mengarahkannya keluar jendela.
"Raurrgh.." seekor macan kumbang meloncat masuk jendela.
"Aaa!!" Len berteriak kaget.
"Kaito!! Kasih Len senjata!!" Gakupo berteriak, sambil memerangi macan kumbang itu. Macan kumbang itu berdiri di dua kakinya dan berusaha menerjang Gakupo yang mendorongnya mati-matian ke depan dengan memegang tombak secara horizontal di tangannya.
"Len!" Kaito mengambil tombak dan melemparnya ke arah Len. Len menangkapnya dengan sigap.
Gakupo berhasil melempar macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu pantang menyerah. Setelah berguling-guling di lantai kayu, ia langsung berdiri lagi dan menggeram ke arah mereka. Len dengan berani mengacungkan tombaknya ke macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu menamparnya sampai patah.
"Len! Jangan lakuin itu lagi!!" teriak Kaito. Berdiri di depannya, menakut-nakuti macan kumbang itu dengan menyentak-nyentakkan tombaknya ke depan. "Kamu turun sekarang! Turun!!"
"A, apa.. Aku nggak bisa bantu?"
"Len! Kamu harus turun.. Lari, selamatkan diri." Gakupo menyeret Len dan mendorongnya ke pintu keluar.
"Tapi aku mau bantu.." Len ngotot. Masuk lagi ke ruangan.
"Len jangan!!" Kaito berteriak. Macan kumbang itu tiba-tiba menerpa Len dan menerkamnya. Berusaha mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Len mendorongnya ke atas dengan sekuat tenaga. Sampai macan kumbang itu mencakarnya di dadanya. "Ah!" Len kesakitan, tapi mencoba menahannya. Dan sebagai penyelamat Kaito mendorong macan itu ke samping.
Len berguling-guling dengan ke arah dapur, mengambil pisau sebanyak mungkin, lalu berdiri sambil memegangi dadanya yang berdarah. Kaito dan Gakupo sedang memerangi macan kumbang itu dari samping kanan dan kiri, berputar dalam bentuk lingkaran untuk mengawasi kemana serangan selanjutnya. Len ngos-ngosan, menentukan targetnya dan bersiap melempar salah satu pisau untuk mengenainya.
Oke.. Jangan sampai kena Kak Kaito dan Om Gakupo. Ia berdoa dalam hati. Ia membidik bagian samping macan kumbang itu, berharap pisau itu akan menembus ke organ dalam lewat sela-sela tulang rusuknya. Ia menarik napas, dan melemparnya.
Pisau itu menerjang udara dengan cepat, hampir mengenai Gakupo yang dengan sigap menghindarinya. Tapi macan kumbang itu lebih tajam penglihatannya, ia menunduk dan pisau itu hanya menggores punggungnya. Macan kumbang itu memandang Len, dengan murka dan balas dendam, seolah-olah Len adalah target utama dan akan menjadi makan malamnya hari ini. Len melempar salah satu pisau ke arah moncong macan tutul itu, dan pisau itu mengenai matanya. "RAAAAAURGH!!" Macan kumbang itu meraung dengan keras, menjatuhkan pisau itu yang tidak menancap terlalu dalam. Dengan membabi buta macan kumbang itu berlari ke arah Len, meloncat dan menerkamnya sambil meraung. Tapi tepat waktu, Gakupo berdiri di depan Len dan mendorong Len kencang ke belakang ke arah jendela utara, dan Len, yang kehilangan keseimbangan, jatuh..

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

Meiko dan Valshe tiba di pulau tujuan mereka. Meiko mengambil teropong, dan mengarahkannya ke arah pohon besar di tengah pulau. Tepat ketika ia melihat titik kecil yang kuning-putih terjatuh ke bawah, dan setelah diarahkannya ke samping, ia melihat rumah pohon besar. Meiko terkejut. "Valshe! Valshe! Ini pulaunya!!"
Valshe, yang sedang memarkir speedboat dan mendorongnya ke arah pepohonan, hanya berkata. "Dari mana kamu tau?" tanyanya santai.
"Ini!!" Meiko berlari dan memberikan teropongnya kepada Valshe, lalu menariknya ke tempat tadi ia berdiri. "Itu!! Pohon gede!" Meiko menunjuk. "Ada rumah pohonnya! Kita harus ke sana!"
Valshe mengarahkan teropong ke arah yang ditunjuk Meiko. Dan tersentak. "Mereka lagi diserang!"
"Apa??! Diserang? Yang bener aja She." Meiko merebut teropong itu dan memosisikan di depan matanya. Ia melihat titik biru dan ungu dan titik hitam. "Oya!! Ya ampun.."
Tiba-tiba.. "Auuuuuuuuu!" terdengar suara serigala.
"Oke, ini.. Buruk." kata Valshe.

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

"Aaaaaaa.." Len terjatuh. Dia mengira dia akan mati, terjatuh melayang-layang di udara dan melihat puncak pohon terlihat semakin jauh di atas. Rambutnya terbang-terbang, badannya bergesekan dengan udara, segalanya terasa slow motion, intinya, dia yakin hari itu adalah hari kematiannya. Tapi tiba-tiba, BRUK!! Len terjatuh di cabang pohon kecil, cabang pohon itu mulai patah, yaa.. Menerima tekanan seperti itu. Tapi sebelum membiarkan dirinya terjatuh untuk kedua kalinya, Len menjatuhkan 3 dari 5 pisau yang dibawanya, memegang dua pisau di dua tangannya, dan menancapkannya dalam-dalam pada batang pohon baobab besar tersebut, membiarkan cabang yang tadi menahannya jatuh ke bawah. 
"I'm alive!!!" teriaknya, bergelantungan di tengah-tengah pohon, ternyata ia sudah setengah jalan jatuh ke bawah. Dia melihat ke bawah, tinggiiii.. "Ehh.. Okay.." katanya menelan ludah. "Harus.. hati-hati.." Ia mencoba turun sambil mencari pijakan.

Sementara itu..

"Gakupo!! Kenapa Len didorong??" Kaito mengomelinya, berbicara tanpa mengalihkan perhatian dari macan kumbang.
"Biar dia keluar." Gakupo menjawab singkat, maju menyerang macan kumbang, dalam hal ini ia memang lebih agresif dari Kaito.
"Len bisa mati!!" Kaito berteriak frustrasi. 
"I'm alive!!!" terdengar teriakan Len dari bawah.
"Nggak tuh." Gakupo tersenyum, sementara di depan mukanya si macan kumbang terus mendorong dan mencoba menerkam lehernya. 
Kaito kicep. "Okay let's finish this." Ia mengamati Gakupo dan macan kumbang itu. "Gakupo.. Kita lakuin yang pernah kita lakuin dulu." katanya.
"Maksudmu.. Itu??" 
"Iyaaa!!" Kaito mengambil posisi, ia mundur beberapa langkah. Gakupo pun mendorong macan kumbang itu dan mementalkannya, kemudian mundur beberapa langkah. Sampai posisi mereka seperti garis lurus, masing-masing di pinggir ruangan, dengan si macan kumbang di tengah. Si macan kumbang kebingungan, bergantian menengok ke arah Kairo, Gakupo, Kaito, Gakupo. Memutuskan yang mana yang lebih lemah dan mudah dimangsa, akhirnya, ia memilih Kaito. Ia berlari, terus berlari dan meloncat dengan posisi menerkam, di belakangnya Gakupo berlari kencang. Ketika macan kumbang ingin menerkam, Kaito mengarahkan tombaknya ke atas, dan Gakupo menghunuskan tombaknya ke bawah, dan.. Clep!! Macan kumbang itu terjatuh ke lantai dengan bunyi bruk!!
"Yess!" Kaito dan Gakupo tos di udara, lalu mengambil tombak mereka yang dilumuri darah macan kumbang. "Kita bersihin nanti, sekarang.. Len.." Gakupo berjalan ke jendela utara, memandang ke bawah. "Len!!" panggilnya.
Tak ada jawaban, mungkin Len sudah sampai di bawah. Gakupo pun mengikuti Kaito yang sudah mulai menuruni tangga. 
"Kak Kaito!! Om Upo!!" Len, yang sudah sampai di bawah duluan, menyambut mereka di dasar tangga, membawa kelima pisau yang dipungutnya dari rumah pohon. "Sudah mati kah dia?"
"Beres Leeen!!" Kaito turun dan lari memeluk Len. -_-
"Aaah Kak Kaito ini lebay banget sih -_- Aku nggak papa kok." kata Len, mendorongnya pelan.
Gakupo menggelengkan kepala. Lalu melihat sekeliling. "Kaito, Len, awas!!" Gakupo berteriak.
Len dan Kaito mundur, di belakang mereka, sekawanan serigala menggeram dan mendekati mereka, menggigit-gigit di udara dan menjatuhkan air liur, kira-kira jumlahnya 12.
"Apa lagi ini??" kata Gakupo. "Semuanya, naik lagi ke rumah pohon!!" 
Kaito dan Len berlari ke tangga. Mereka naik, Gakupo, Len lalu Kaito. Baru beberapa kali naik, "Aaaau!!" Kaito menjerit, salah satu serigala menggigit kakinya. "Len!! Upo!!" Tolooong!!" teriaknya. Kaito menarik kaki Len, lalu Len menarik kaki Gakupo, lalu tangga untuk naik ke atas tersebut patah. Mereka terjatuh. Bruk!!
Ketika jatuh, tangga tali itu membelit-belit mereka, dan para serigala langsung menyerbu mereka.
"Aaaaa.." Mau tak mau mereka berteriak menerima serbuan para serigala tersebut. Tapi Len dengan sigap menggunakan pisaunya untuk memotong sulur-sulur tangga agar mereka bisa melepas, lalu Gakupo dan Kaito mendorong para serigala itu ke depan.
Kaki kanan Kaito berdarah-darah. Dengan sedikit terpincang-pincang ia maju lalu mengarahkan tombaknya pada para serigala tersebut. Len pun mengacungkan pisau terbesar yang ia punya ke arah serigala. Dan Gakupo, yang belum terluka, mengambil beberapa pisau dari Len dan hanya mengatakan. "Lari.."

Gakupo, Len dan Kaito berlari. Len memegangi dadanya dan Gakupo membantu Kaito berlari karena ternyata gigitannya cukup parah. Para serigala mengikuti mereka, berlari dan menggigit-gigit di udara. Mengepung mereka dari segala arah, sampai mereka akhirnya sampai di suatu tanah lapang yang mirip sabana.
Kaito dan Len makin tidak mengerti mengapa Gakupo membimbing mereka ke sini, tapi itu sebenarnya ide bagus karena mereka tak bisa melihat apa-apa di tengah hutan, disebabkan kanopi dedaunan jauh di atas mereka. Apalagi serigala-serigala bisa sembunyi di balik pohon-pohon lalu menerkam mereka dari belakang. Sekarang, walaupun mereka terlihat seperti sasaran empuk, setidaknya sekarang ada 3 pasang mata yang bisa mengawasi dari segala arah.
Serigala-serigala itu mengepung mereka. Gigi-gigi mereka yang tajam dan air liur mereka yang menetes-netes menambah kesan mengerikan pada penampakan mereka. Sementara mereka merapatkan diri mengelilingi ketiga Vocaloid tersebut, mereka semua berdiri membelakangi masing-masing dan Gakupo berbisik.. "Kalo kita mati hari ini, seenggaknya kita mati bersama."
"Seraaang!!" teriak Kaito.

To be continued..

Terjebak di Pulau (part 2)

Posted by :

Unknown

Date:

Senin, 12 Mei 2014

0 komentar
 *ahaha maap kalo baru dilanjutin, kesannya udah basi yaa ._.*

Rumah pohon itu besaaaaaaar.. Bertengger di puncak pohon baobab, dengan tangga tali yang terbuat dari sulur-sulur yang dicabut dari pohon beringin. Kira-kira tingginya 5 meter dari tanah. Kaito dan Gakupo membimbing Len naik tangga, padahal Len masih terbengong-bengong bahkan ketika baru melihat bagian luar rumah pohon itu. Ketika sudah di atas, semuanya menjadi lebih luar biasa. Temboknya terbuat dari kayu cokelat tua yang dijajarkan membentuk lingkaran sempurna. Disisakan satu lubang di salah satu sisinya sebagai pintu masuk ke dalam. Pintu masuknya berupa tirai yang terbuat dari daun-daun yang digantung dari atas. Di bagian dalam, seperti terlihat dari luar, merupakan ruangan besar berbentuk lingkaran sempurna yang tidak dipisahkan oleh dinding. Dengan beberapa lubang sebagai jendela, satu yang besar di timur dan barat, dan yang kecil di sebelah utara dan selatan. Jendela itu juga diberi tirai dari sulur pohon beringin, tetapi bisa ditarik ke pinggir apabila ingin membuka jendela. Di salah satu sisi rumah, terdapat suatu tempat yang terlihat seperti dapur, dengan alat-alat mirip pisau yang terbuat dari batuan yang diasah sedemikian runcing. Di area sebelahnya, lebih mirip kamar. Ada dua tumpukan daun-daun yang ditata mirip kasur dan daun yang diikat tebal menyerupai bantal. Dan sisanya merupakan tempat kosong yang.. Entahlah. Mungkin biasa digunakan untuk bermain-main. Di jendela utara, terdapat semacam katrol dengan tali dari sulur pohon dan benda mirip ember untuk mengambil air dari sungai di bawah. Rupanya Kaito dan Gakupo berhasil memilih lokasi yang sangat strategis: pohon tertinggi di pulau, terletak di tengah pulau, dekat sungai sehingga memudahkan mereka jika ingin mengambil air atau mandi atau keperluan lainnya, dan sepertinya jauh dari ancaman predator, atau mungkin pulau itu bebas predator. Len masih terkagum-kagum..
"WOOOOW!! This.. This is awesome!!" jeritnya. "Kenapa jendela di barat dan timur gede? Kenapa jendela yang di utara selatan kecil?? Aaaah ya ampuun.. Terus, ini dapur??" Len berlari ke arah dapur. "Ya ampuun.. Ada talenan, ada pisaunya.. Waaah.. Pisaunya, serasa di Zaman Batu. Terus, ini kasur, empuuuuuuk!!" Len berjalan di kasur daun itu, lalu meloncat-loncat di atasnya. "Ini.." Len berjalan ke jendela berkatrol. "Buat ngambil air di bawah.. And it's working!!!" kata Len sambil memain-mainkan katrolnya. "Butuh berapa lama buat mbangun rumah ini kak??" 
"Hmm.. Kira-kira 2 sampe 3 bulanan lah.. Arsitekturnya keren kan hehehe." jawab Gakupo sambil memuji-muji hasil karyanya.
"Kak Miku, Kak Meiko, Rin dan Tante Luka bener-bener harus liat ini!! Mereka harus ke sini!! Waaah.." Len lari-lari mondar-mandir keliling rumah.
Kaito dan Gakupo bertukar pandang sedih. "Kecil harapannya mereka bakal ke sini Len." kata Kaito dengan senyum sedih.
"Ya.. Entahlah, mungkin tempat ini terlalu terpencil sampe-sampe helikopter aja nggak mungkin lewat sini." tambah Gakupo. "Waktu awal-awal kita terjebak di sini, kita ngabisin 2 bulan pertama keliling pulau bikin api unggun, nunggu helikopter dateng. Nggak jarang kita ngebangun patung dari daun yang kita nyalain api di puncaknya, buat sinyal minta tolong. Tapi nggak pernah ada yang dateng." jelasnya.
"Kita putus asa, dan akhirnya kita mbangun rumah di sini, kita udah nggak pernah berharap bakal bisa balik lagi." ujar Kaito sedih.
Len manggut-manggut. "Tapi sekarang aku di sini! Ini pertanda baik. Kita harus pulang!" serunya.
"Gimana Len? Ini pulau terpencil in the middle of nowhere dan percaya sama aku.. Kita terjebak di sini. Trapped! No way out! Cut out from this world! Never gonna make it there.." kata Gakupo sambil melirik jendela.
"Aaaah!! Ini bukan kalian!! Kak Kaito dan Om Gakupo yang aku kenal, bukan kayak gini.." ujar Len kecewa.
"Kita amnesia Len, jangan salahin kita." kata Gakupo ketus.
"Aku serius.." Len menarik Kaito dan Gakupo secara paksa untuk duduk di tengah ruangan. "Mungkin aku harus nyeritain beberapa kutipan hidup kalian.."
Kaito terdiam, menatap Len dengan serius. Tetapi Gakupo hanya memberi tatapan 'trust-me-kid-you-will-never-get-out-of-this-island' yang sinis.
"Oke. Aku akan memulai dari Kak Kaito.. Ehem.." Len berdeham. "Kak Kaito hidup miskin. Kak Kaito adalah anak kelima dari 9 bersaudara. Delapan cewek, 1 cowok. Kak Kaito selalu kerja keras untuk menghidupi mereka. Ya emang nggak cuman kakak doang yang kerja, tapi diantara yang lain, pekerjaan Kak Kaito sebagai artis paling mapan. Kak Kaito rela malu-maluin depan umum biar dapet uang, banyak video dan foto-foto kakak yang di situ foto kakak lagi apes. Lalu, waktu dapetin Kak Miku.. Ahaaaaa ini favoritku.. Ya aku tau kakak orangnya payah, polos, hmmm, hampir nggak bisa diandalkan, hampir nggak ada romantis-romantisnya.. Eeee jangan marah.." Len panik melihat ekspresi Kaito yang 'sepayah-itukah-aku'.
"Iya oke. Lanjut." ujar Kaito cepat.
Len melanjutkan. "Ya.. Tapi kalo depan Kak Miku, Kak Kaito bisa jadi penyelamat. Tau-tau bisa jadi gagah dan keren. Misalnya waktu Kak Miku hampir dirampok penjahat, Kak Kaito langsung ke depannya Kak Miku, habis itu mengorbankan es krim mahal yang baru dibeli ke muka perampoknya dan kabur. Kakak itu paling suka es krim vanila, sampe beli banyak yang nggak gampang meleleh, mengorbankan uang tabungannya yang dikumpulin susah payah dan.."
"Oke. Lalu, apa hebatnya?" potong Gakupo. "Itu cuman kabur dari perampok dan mengalihkan perhatian dengan es krim. Semua orang juga bisa."
"Ta.. tapi.." Len terbata-bata.
"Kamu mau ngomong kayak gimana juga, kita nggak akan pernah bisa keluar dari pulau ini. Kita terkutuk di sini, nggak akan bisa balik, sampe kapanpun! Stop giving hopes when there's none!!" Gakupo langsung bangkit.
"Lho? Po, mau kemana?" Kaito berusaha mencegah.
"Cari makan. Udah sana kamu sambut tamu kita dulu." Gakupo memalingkan wajah dengan cuek lalu mengambil tombak *ternyata ada tombak juga* lalu turun dari rumah pohon.

Sunyi.. Krik krik krik..

Len terkejut. Apa yang baru saja dia katakan?
"Maaf Len, dia emang kayak gitu." Kaito tersenyum malu.
"Ya, aku kenal. Om Gakupo emang agak sensitif, sedikit belagu dan keras kepala. Tapi aku masih nggak paham kenapa dia tau-tau langsung marah kayak gitu." kata Len.
"Yaaa.. Waktu dulu, dia lah yang paling bersemangat untuk keluar dari sini. Bikin kapal yang ujung-ujungnya selalu bocor, bikin patung. Kamu kira itu ideku? Bukan, itu ide dia. Dia bilang 'Biru! Tiap malem aku selalu mimpiin pesta pernikahanku, dan aku mikir, ini bukan sekadar mimpi. Istriku di sana and who knows I already have a kid, dan aku harus ke mereka! Mumpung aku masih hidup. Gimana dengan kehidupan mereka sehari-hari? Apakah damai, bisa makan ato nggak? Kamu mungkin nggak akan pernah percaya tentang mimpiku, nggak percaya cowok kayak aku bisa nikah juga, tapi aku yakin mereka di sana. Keluargamu juga disana Ru!!' dia ngomelin aku kayak gitu waktu aku udah putus asa. Jujur aja, padahal aku nggak pernah bilang kalo aku nggak percaya cowok kayak dia bisa nikah, haha. Tapi intinya setelah 2 bulan, dia nyerah. Sebelum bener-bener nyerah, dia tau-tau ngilang selama 1 hari. Aku emang nemuin dia, tapi waktu aku liat, dia lagi nangis histeris di suatu tempat yang agak tersembunyi, sambil mukul-mukul sekelilingnya, ya aku langsung kabur aja. Lalu beberapa jam kemudian, dia balik ke tempat aku sama dia biasa istirahat dan dia bilang ke aku 'Ya udah Ru. Ayo bikin rumah pohon.' gitu." Kaito bercerita.
"Wew." Len kicep. "Segitunya."
"Ya.. Begitulah. Udah sekarang kita tunggu dia aja." kata Kaito sambil merebahkan tubuhnya.
"Mmmm.. Apakah nggak sebaiknya kita kejar?" usul Len.
"Jangan." jawab Kaito. "Kalo kita kepencar, dia malah marah nantinya. Biarin aja. Dia bakal balik sebelom matahari terbenam."
"Hmm.. Oke.." Lalu Len berjalan ke arah jendela barat, memandangi pemandangan pulau di bawahnya.
"Oya Len.. Istrinya Gakupo, kayak apa dia?" tanya Kaito santai.
"Oooh.. Tante Luka.. Tante Luka itu cantik, elegan, sensual.."
"Hahay sensual. Kamu kecil-kecil udah ngerti sensual aja. Pantes Gakupo mau." tegur Kaito.
"Tapi aku serius kak. Tante Luka itu sensual dan cantik. Terus baik, pengertian. Agak tinggi, rambutnya pink panjang dan selalu diurai. Dan jujur, kalo diliat-liat, mereka pasangan yang cocok." jelas Len.
"Lalu.. Pacarku?? Gimana pacarku? Mei.. Mi.. Siapa namanya? Miku? Miku kan? Ya, dia gimana?" Kaito bertanya dengan semangat.
"Ahahahaha. Cantik, rambutnya tosca panjang dan selalu diiket 2, polos, baik. Wkwkwkwk." Len mulai menjelaskan.
"Waaaa.. Persis kayak di mimpiku." Kaito berteriak lalu mengambil salah satu bantal daun dan memeluk-meluknya. "Hubunganku dan dia lancar kan??"
"Lancar lancar.. Hahaha." jawab Len. "Tapi.."
"Tapi apa??" Kaito bangkit, penasaran.
"Ahahahaha. Kalo berantem kalian lucu.." kata Len.
"Aaaah Len!! Cerita sama aku lebih banyak!!"
Dan mereka menghabiskan sisa hari bercerita dan tertawa. Sedangkan Gakupo, yaah.. Berburu -_-"

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-


Meiko berjalan ke anjungan kapal lagi. Hari masih pagi ketika itu dan Rin dan yang lainnya belum bangun tidur. Jujur saja, semalaman mereka semua menangis tersedu-sedu dan baru berhenti pada pukul 2 pagi. Dan sekarang, dengan tekad baru, Meiko memutuskan untuk mencari sendiri 'keluarga'nya yang hilang.
Ia menaiki tangga menuju anjungan, menemui Nahkoda Oliver yang sedang duduk santai sambil minum kopi dan melihat ke jendela depan. Ketika pintu dibuka, spontan Oliver langsung menengok ke belakang. Agak terkejut melihat ternyata Meiko yang memasuki anjungannya. Ia langsung bangkit, menghadap Meiko.
Ia meminta maaf, "Saya turut menyesal atas kehilangan.."
"Saya ingin mencari mereka." potong Meiko, bersedekap sambil menatap lurus ke Oliver dengan ketus.
"A.. Apa?" Oliver tersentak.
"Saya ingin mencari mereka." jelas Meiko. "Anda tahu, keluarga saya yang hilang dalam kapal ini." Meiko memberi penekanan pada tiga kata terakhir. "Saya baru sadar bahwa Anda adalah seorang nahkoda yang tidak bertanggung jawab, membiarkan penumpang Anda hanyut begitu saja dalam badai besar sedangkan Anda yang merupakan Kapten kapal ini baik-baik saja dan malah menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari. Anda bahkan tidak melakukan pencarian apa-apa terhadap penumpang Anda yang hanyut dari kapal ini. Jadi saya berpikir tidak ada gunanya berharap pada Anda, dan saya ingin mencari mereka sendiri, tanpa bantuan Anda."
"Ta.. Tapi Bu.. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi." Oliver menolak. "Badai bisa terjadi lagi, dan jika saya mengizinkan Bu Meiko mencari mereka sendiri, sama saja dengan saya membunuh.."
"Anda sudah membunuh saya dari dulu." potong Meiko pedas. "Kehilangan keluarga sendiri, itu membunuh kami semua dari dalam. Anda tidak perlu merasa bersalah lagi jika pada kenyataannya saya nanti tidak bisa kembali dari pencarian saya. Dan saya tidak menerima jawaban 'tidak' dari Anda. Saya minta sekoci. Speedboat lebih baik jika Anda memilikinya. Saya juga bersedia membayar.. Lima puluh ribu yen. Cukup kah?" Meiko mulai meraih dompetnya.
"Tapi.. Saya tidak bisa mengizinkan Anda turun kapal begitu saja dan memulai pencarian terhadap keluarga Anda." tolak Oliver tegas.
"Ooo jadi 50 ribu belum cukup? Ya sudah, kalau begitu, 100 ribu?" Meiko menyerahkan segepok uang dari dompetnya.
"Ah Bu Meiko, saya tak ingin uang Anda!" Oliver mundur selangkah sambil mengedepankan kedua tangannya dengan gerakan menolak.
"Lalu apa yang Anda inginkan?? Anda ingin membunuh saya??" bentak Meiko dengan tatapan kejam.
"Aduuh.. Bukan begitu. Saya harus menjamin keamanan Anda."
"Lalu mengapa Anda tidak menjamin keamanan keluarga saya 5 bulan lalu dan kemarin malam?"
"Terjadi badai Bu Meiko. Saya harus mengutamakan keselamatan penumpang saya yang masih selamat. Yang masih di kapal ini, maafkan saya. Tapi Anda tidak bisa egois seperti itu!"
"Apa?! Anda bilang saya egois?? Jawab saya Nahkoda Oliver, jawab saya!!" Lalu Meiko melunakkan suaranya. "Apa yang akan Anda lakukan jika Anda menjadi saya? Keluarga Anda hilang, hanya karena seorang nahkoda yang sangat tidak bertanggung jawab, yang cukup bodoh untuk mengulang melewati area dimana sering terjadi badai, dan kedua kalinya menghanyutkan penumpangnya? Apa yang akan Anda lakukan??"
Oliver tidak menjawab. Lidahnya beku. Suaranya tersekat. Sebersit kesedihan tiba-tiba muncul di matanya.
"Jawab saya Nahkoda Oliver!!! Jawab saya!!" Meiko berteriak.
"Saya tidak tahu Bu Meiko!!" Oliver balas berteriak. "Saya tidak tahu.." Suaranya melunak. "Maafkan saya karena sudah berteriak." Ia menarik napas. Dengan frustrasi mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangannya, dan jatuh terduduk di kursi nahkoda. "Keluarga saya juga hilang pada kecelakaan badai Bu Meiko."
Meiko terdiam. Merasa bersalah karena telah membentaknya tadi. "Lalu.. Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Itu adalah tahun pertama saya menjadi nahkoda. Ketika itu terjadi badai besar dan saya mengajak keluarga saya ikut berlayar. Orangtua saya lebih tepatnya. Saat itu terjadi badai besar, tiba-tiba salah satu asisten saya berteriak bahwa keluarga saya hanyut di lautan. Saya memaksakan kehendak saya untuk menyelamatkan mereka, dan saya memberhentikan kapal. Sekoci diturunkan, sebenarnya asisten saya sudah mengingatkan bahwa sebaiknya kapal tidak boleh berhenti. Lagipula, hanya 2 orang yang hanyut. Tapi saya tidak mengindahkannya. Tetapi beberapa menit kemudian saya sadar bahwa dia benar, badai mengamuk lebih keras, orangtua saya hilang dan ombak menenggelamkan seluruh kapal dan penumpang lainnya. Saya beruntung karena ketika kapal tenggelam, saya berada di luar dan saya langsung berenang ke atas." Oliver berhenti sebentar. "Saya terombang-ambing selama beberapa hari sampai akhirnya seseorang menemukan saya dan saya dibawa ke pulau terdekat. Tapi intinya adalah.. Saya nahkoda, tetapi saya selamat sedangkan yang lain tidak. Saya sangat menyesal, saya berpikir ingin bunuh diri tapi.. Jika begitu hidup saya akan lebih sia-sia." Oliver berhenti. "Begitulah ceritanya Bu."
Terjadi keheningan selama beberapa detik. Lalu, akhirnya Meiko berbicara. "Saya turut menyesal atas kejadian itu Pak Oliver, hanya saja.." Meiko berhenti, mencari kata-kata yang tepat. "Saya yakin mereka masih hidup. Dan, sebelum saya menyesal seumur hidup - sekali lagi maafkan saya - saya ingin benar-benar memastikan apakah mereka masih hidup atau tidak. Firasat saya mengatakan bahwa mereka terdampar di sebuah pulau terpencil, saya tidak tahu apakah ini benar atau hanya firasat, tetapi saya ingin mencobanya. Saya mohon Nahkoda Oliver.. Saya yakin Anda pasti mengerti."
Oliver menarik napas. "Ya.. Saya mengerti." Ia menoleh ke Meiko. "Saya punya teman, ia bekerja di kapal ini. Dulu dia bekerja di tim yang mencari korban kecelakaan kapal atau pesawat yang hilang. Tapi sekarang ia bekerja di Maintenance Room, Anda bisa menemuinya. Ini kartu namanya." Oliver memberi sebuah kartu nama kecil ke Meiko.
"Terima kasih banyak Nahkoda Oliver. Berapa saya harus membayar Anda?" Meiko menerima kartu itu sekaligus menjabat tangan Oliver.
"Tidak perlu Bu Meiko. Tidak perlu." Oliver tersenyum. "Ketika Anda sudah bertemu dengan teman saya, bilang saja saya sudah menyediakan speedboat di Special Room. Dan bilang saja saya meminta dia menemani Anda mencari keluarga Anda."
"Oh.." Meiko tersentak. "Tak perlu repot-repot Nahkoda Oliver, saya.."
"Dia sudah berpengalaman Bu Meiko." potong Oliver. "Dan saya memaksa. Dia harus menemani Anda, saya yakin dia tidak akan keberatan. Mencari orang hilang sudah seperti petualangan baginya."
"B.. Baiklah.. Terima kasih banyak Nahkoda Oliver." Meiko meraih dompetnya dan menyerahkan uang lima ribu yen. "Kumohon diterima Nahkoda Oliver, saya memaksa!" Lalu Meiko bergegas keluar dari anjungan kapal tanpa menunggu jawaban dari Oliver.

Tok tok tok. Meiko mengetuk pintu di Maintenance Room. Pintu langsung terbuka dan seorang.. Entahlah.. Seorang berambut pirang pendek yang dipotong seperti laki-laki menyambutnya. "Ya?" suara wanita yang agak berat menyambutnya.
Meiko menelan ludah. "Ehem.. Saya mencari.. Hmm.." Meiko kesulitan membaca nama di kartu nama.
"Oh.. Anda pasti Bu Meiko." Ia keluar dari Maintenance Room.
"Yyya.. Benar." Meiko mengiyakan. "Apa Anda.."
"Ya. Benar." Orang itu memotong dengan cepat sebelum Meiko berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Tadi saya habis dari Ruang CCTV dan saya melihat Anda berbicara dengan Nahkoda Oliver. Lalu Nahkoda Oliver terlihat seperti mengeluarkan kartu nama saya. Mengapa dia menyuruh Anda menemui saya?"
Terkejut dengan sikap orang baru ini yang terkesan agak lancang, Meiko langsung menjawab. "Keluarga saya hilang. Lalu.."
"Ooo. Dia menyuruh saya menemani Anda mencari mereka?" tanyanya.
"I, iya." jawab Meiko.
"Kalau begitu ikut saya. Ke 'Special Room' kan?" Ia tersenyum.
Meiko masih speechless. Ada apa dengan orang ini? -_-" Mengapa dia selalu memotong perkataannya?
"Hei, gantikan aku ya. Aku ada misi spesial dari Oliver." Si rambut pirang berteriak ke dalam Maintenance Room. Dan samar-samar terdengar suara laki-laki yang berkata "Okee.." dari dalam. Lalu ia berjalan keluar dari Maintenance Room dan menjabat tangan Meiko.
"Perkenalkan.. Nama saya Valshe."


To be continued..

Ayano no Koufuku Riron (Ayano's Theory of Happiness)

Posted by :

Unknown

Date:

Sabtu, 17 Agustus 2013

0 komentar
I remember our first time, back then.. One fine afternoon, I was reading my new book, about a hero saving other people's happiness. I'm very excited when I'm reading that book. Mother came home, she brought back three children, soon to be my own siblings. I was flowing with happiness, "This is Ayano, she's your onee-chan from now on, please get along well.." Mother said smiling at me then at those children. Two of them are boys, and one of them is a girl. The light brown haired boy named Kano Shuuya, the black haired boy named Seto Kousuke and the green haired girl named Kido Tsubomi. They're all different, but they have common red eyes. "I'm a monster.." they said, with such a sad expression on their face. I want to be their onee-chan, their onee-chan who protect them and give them happiness. I quickly get my book and show it to them "See~? The hero who saves other people's happiness, proudly wearing the cape of red." I said, grinning at them. Then I wear my red scarf, posing a heroic pose, " Hora~ look at this, this red muffler looks like a hero, right? This is only our secret~!" I put one finger in front of my smile, saying to keep it a secret. We all laugh, and happiness can be seen in our smile. The next day, I gave them a present, three hoodies, a black hoodie with three light brown dots on the side of it for Kano, a purple ipod-like hoodie for Kido, and a plain white hoodie for Seto. They smile happily.
"I want to protect that smile, I want to protect their happiness, I want to protect my family and my happiness until the end." I said to myself, as if I'm promising. We spent our times together, we went to the beach together, we go to the flower fields together, we even sleep together. Two years passed, I'm in Junior High School, I have a lot of friends there. I enjoy every second of my life, and I have three best friends, Enemoto Takane, Kokonose Haruka, and my classmate, Kisaragi Shintaro. Though my grade is bad, I'm not worrying it a little bit, but it quite make me sad, but I keep on smiling, "Hey Shintaro, what did you get?" I asked to the boy sitting beside me. He just sighed and answered shortly "perfect". He always got a perfect score, yet, I don't understand why he rarely smile. That's why I start to practice making papercrane out of my paper test and give it to him, I don't know if it helps or not, but I hope he's happy. 

One day, a day when the sky is not clear enough to make the sun appear, a photo of my smiling mother, surounded with a lot of beautiful flowers. My father's crying, my three siblings pouring their tears over. I'm shaking. "I can't cry.. If I cry, I'll only make them more sad." That's what I thought. A smile plastered on my face, it hurts so much, but I have to keep on smiling, to be their onee-chan. Those three never smile again since then, except Kano, but his smile, hides something. And ever since then, father rarely go out of his work-room.
In curiousity I peeked into his room, and see no one there. I went in slowly and wandered around. Something caught my eyes, I went near father's work-table and sees some kind of a profile there. "Human....experiment?" I tilt my head as I read the word.
My breath seems to stop, and I widen my eyes, seeing two photo of my best friend, "Haruka..? T-takane?.." I said in confusement, wondering what is father going to do with them. I know too much. But I can't tell anyone about it, because if I do, everyone's happiness will be gone. I don't know what to do anymore, so I just keep it as my own secret. Walking out of father's room, with still a smile plastered on my face. I do my rutine as usual, trying to get good grade, but failed, and me and Takane got into the summer class and got extra lessons. Sometimes Haruka teach us. My grade got a little better and I'm very happy of it, everyone's happy for it too. Seeing this, making me remember about that horrible thing I saw. I just can't bear it again I guess. I giggled as I walk up the school's rooftop. "I know too much, and everyone'll know this soon.. So I guess, this will help right?" I scratched my cheek. "Have I become their onee-chan?" That thought flashed through my head. A single tear rolled down my cheek, stepping closer to the edge of the roof. "If I go to this endless world, will I save everyone's happiness?" I said to myself, leaving a papercrane made out from Shintaro's papertest on the roof with another one.
"I'm sorry... I know too much... If you remember what I said, that I love that word -'Happiness'- so much, please love your tomorrow." The last thing Ayano muttered before jumping off the rooftop. The next other day, no one could find Ayano, some of them said that she disappeared, and some of them said that she went to the Endless World.


--"I'm sorry...I've died.. Goodbye"--haj


*this is basically based on a Kagerou Project song titled 'Ayano no Koufuku Riron'. You can watch it by clicking this*

Terjebak di Pulau

Posted by :

Unknown

Date:

Jumat, 24 Agustus 2012

0 komentar



"LEEEEEEN!!!!" Seorang gadis berambut kuning berteriak menembus hujan, suara guntur yang menggelegar dan angin kencang serasa hampir menenggelamkan kapal dan mengguncang-guncangkannya. "RIN! *blubblubblub* To.. *blubblubblub* Long!!! *blubblubblub*" Dan seorang pemuda berambut kuning pula gelagapan di tengah ombak dan badai, rupanya Len terjatuh dari kapal, dan meskipun dia bisa berenang, derasnya hujan dan kencangnya ombak mengombang-ambingkannya dengan kejam. "Ini Len!! Tangkep!!" Rin melemparkan sebuah pelampung kuning. Len menangkapnya, membiarkan dirinya terselamatkan dari kejamnya dorongan ombak. 

"PAK! PAK! BERHENTI DULU!!" Seorang wanita berambut merah menghambur masuk ke anjungan kapal, setelah menemui nahkodanya, ia menamparnya. "PAK!! Saya bilang berhenti dari tadi!! Ada yang jatuh dari kapal!!" Meiko mengguncang-guncangkan badan si nahkoda. "Maaf, saya tidak bisa melakukannya! Ampun!" si nahkoda menutupi wajahnya dengan tangannya. "Pak saya mohon Pak, hentikan kapal.. Ada yang jatuh, dia, dia adik saya." Setetes air mata menetes dari mata wanita itu. "Saya nggak mau kehilangan.. Keluarga saya lagi.." Wanita itu terisak-isak. "Maaf bu, saya tidak bisa berbalik, kami semua sudah terguncang ombak, apabila kita kembali, semua orang bisa mati!!!" si nahkoda menjelaskan dengan panik. "Nahkoda Oliver, saya mohon! Kembali! Kasihan adik saya.." Sang wanita kembali memohon, kali ini menyebutkan nama si nahkoda yang tertulis di nametag nya. "Maaf, Bu Meiko. Saya tidak bisa melakukannya.." Oliver berkata dengan lembut, turut memanggil nama wanita itu yang tertulis di topi yang ia kenakan. Meiko kembali menangis, lalu, dengan marah ia keluar dari anjungan kapal, dan mengatakan beberapa kata di ujung tangga: "5 bulan lalu saya kehilangan 2, sepupu saya yang berambut biru dan ungu. Dan sekarang saya harus kehilangan.. Adik saya yang berambut kuning! Dalam kapal ini juga, dan Anda juga yang menjadi nahkoda! Anda harusnya malu!!" Lalu Meiko langsung keluar dari anjungan. Si nahkoda melongo tetapi kembali ke kursi mengemudinya "Ya Tuhan.. Saya tak pernah bermaksud menyakiti siapa-siapa.." dan setetes air mata menetes dari matanya yang tidak cacat.

Meiko berlari keluar menghampiri Rin, Rin menangis-nangis sambil menunjuk-nunjuk 1 titik kuning di kejauhan. Seketika seorang gadis berambut tosca dan pink turut bergabung. "Rin.. Rin.. Jangan nangis.." si gadis tosca memeluk Rin. "Kak Miku.. Gi, gimana aku nggak sedih.. 5 bulan lalu kita kehilangan Kak Kaito sama Om Upo, aku nggak sanggup kehilangan Len lagi.." Rin menangis dalam pelukan Miku. "I, iya Rin. Aku ngerti." Miku mengeratkan pelukannya, dan mereka menangis bersama-sama. Meiko dan si gadis pink ikut menangis melihat adegan itu. "Semua salahku.." Meiko berteriak. "Kamu nggak salah apa-apa Meiko.." si wanita pink menenangkan Meiko. "Kamu salah Luka! Semua salahku!! Aku nggak pernah bisa nyuruh nahkodanya balik arah buat nyelametin mereka, sekarang, juga 5 bulan yang lalu." Meiko mengangkat wajahnya. "Seenggaknya kamu kan udah nyoba Meiko.." Luka memeluk Meiko, dan Meiko membalas pelukannya. "Aku kangen Mas Upo." Luka berbisik. Meiko tersentak, "Aku, aku juga kangen mereka, dan menurutku pasti Miku sama Rin lebih kangen lagi.." balas Meiko. Mereka menangis di tengah hujan, mengabaikan kerumunan orang lain yang memerhatikan mereka. Lalu Meiko melepaskan pelukannya. "Pokoknya aku nggak mau tau! Mereka harus hidup!!"

Sementara itu..

"Eh Ngu, kamu mimpi sesuatu nggak semalem?" seorang pemuda berambut biru bertanya santai kepada seorang berambut ungu. "Iya.. Kamu mimpi apa Ru?" si pemuda berambut ungu balas bertanya. "Aku, aku, aku mimpi.. Aku ada di apartemen gitu, lagi main PS sama cewek yang rambutnya pirang terus dikuncir. Tapi aku nggak tau nama tu cewek siapa.." jawab Biru. "Nah lo, Ru? Cewek lagi. Kemaren kamu mimpi jalan sama cewek rambutnya tosca, terus kemarennya lagi kamu mimpi lagi ditampar sama cewek rambutnya merah tapi habis nampar kamu mohon maaf banget sama tu cewek.. Apa tuh maksudnya? Siapa mereka?" goda Ungu. "Oh. Apa jangan-jangan, di masa lalu.. Aku ini cowok cabul lagi?? Ya ampun Ungu!! Aku bukan cowok cabul! Aku nggak mau!" Biru berkata panik. "Halah.. Siapa yang ngomong kamu cowok cabul?" Ungu mengangkat alisnya. "Heh! Kalo aku jalan sama 3 cewek sekaligus, apa namanya nggak cabul??" Biru memegang kepalanya. "Yaa siapa tau yang 2 di antara mereka mantan kamu.. Terus yang merah itu tetanggamu yang suka ngamuk gitu mungkin." Ungu mengangkat 2 tangannya. "Kalo mereka mantanku, sama aja.. Berarti aku ganti-ganti pacar. Ya ampuun tobaat tobaat." Biru menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalo aku, aku mimpi, lagi di pesta pernikahan.. Sebenernya hampir tiap hari, sama, cewek rambut pink." Ungu memulai. "Hah!! Kamu, kamu udah nikah??" Biru terperanjat. "Hei.. Mana kutau? Ini kan yang ada di mimpiku? Kalo misalnya itu ternyata masa laluku gimana?" Ungu membela dirinya..

Biru dan Ungu, setidaknya itu panggilan sehari-hari untuk mereka. Tentu saja itu bukan nama asli, mereka terdampar di pulau terpencil ini 5 bulan yang lalu, sedang berlibur dalam perjalanan kapal pesiar, tetapi suatu badai yang kejam mengempaskan mereka keluar dari kapal. Dan, beginilah mereka sekarang, terdampar di pulau tak berpenghuni, amnesia dan tidak ingat apa-apa, menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Sekarang mereka sedang berjalan-jalan santai di pinggir pantai, menikmati pantai pagi yang berangin, tentu saja, nyeker.. Tiba-tiba, mereka melihat seseorang terjerembap di pinggir pantai.

"Eh Ungu Ungu, apaan tuh?" celetuk Biru. "Apa? Aku nggak liat apa-apa." Ungu menyipitkan matanya. "Ih itu, yang di pinggir pantai.. Yang kuning-kuning itu lho.." Biru menunjuk. "Kuning-kuning ngambang.." Ungu bersenandung. "Aah tau ah." Biru berlari mendekati orang itu, setelah merasa cukup dekat, Biru membalikkan badan orang itu dan menyeretnya ke tengah. "Eh, emang dia belom mati?" Ungu mengejar Biru. Biru mengamatinya, "Belom. Tapi.. Kapan ya aku pernah liat orang ini? Dia.. Rambut kuning, tapi mukanya.. HAH!!" Biru mundur 3 langkah. "Kenapa?" Ungu mengangkat alis. "Hieee!! Ini kan cewek yang di mimpiku semalem. Ke, kenapa dia bisa ada di sini??" Biru masih terlonjak. Ungu berjongkok dan mengamati 'gadis' ini. "Cewek dari mana? Ini cowok.." Ungu memandang Biru dengan tatapan mencela. "Nyeh.. Aku maho dong??" Biru semakin terlonjak, mukanya pucat. "-_- Nggak lah.. Siapa tau dia temenmu." "Tapi, cowok dari mana? Sekarang rambutnya diurai, tambah kayak cewek!!" Biru memprotes. "Liat dong postur badannya. Cewek dari mana? Kamu ini Ru." Ungu berdiri. Biru mengamati orang itu, "Hmm.. Nggak ah.. Dia itu cewek, tunggu sampe denger suaranya, pasti suara cewek." katanya ngotot. Ungu memutar bola matanya.

Orang itu mulai bergerak. "Ru, Ru, dia gerak.." Ungu menunjuk. "Eeeuh.. Uuuh.. Aku, aku, aku dimana?" Ia tersentak. Hal yang pertama dilihatnya, wajah Biru dan Ungu yang memelototinya.. Lalu ia terbangun, dan memperhatikan Biru dan Ungu. "Kak Kaito!! Om Upo!!" ia berteriak. "Hah? Siapa Kaito?" Biru bertanya. "Yang dimaksud Om itu aku ya?" Ungu heran. "Huaaaaaa!! Beneran kalian!! Kalian masih hiduup!!" orang itu berteriak, dan menghambur memeluk mereka. "Aku kira kalian MATI!! MATI!! Kak Kaito!! Om Upo!! Vocaloid nggak lengkap tanpa kalian!!" Pemuda kuning itu histeris. Tapi, Ungu mendorong pelan orang itu dan menatapnya sinis. "Kamu siapa? Sok sok peluk? -_-" "Eeeh Ungu. Kita nggak boleh kasar sama pengunjung.." Biru tersenyum pada si pemuda. "L, loh? Ja, jadi kalian nggak inget aku?" Senyum memudar dari wajahnya ketika si pemuda mengatakan hal itu. "Mmmm.. Aku pernah sih liat kamu sekali, kamu cewek yang pernah muncul di mimpiku. Yang rambutnya dikuncir." Biru menatap orang itu penuh harap. "Ru, kok kamu nanyanya konyol banget sih?" Ungu mengomelinya. "Tu, tunggu? Kenapa kalian manggil satu sama lain Biru sama Ungu? Kenapa kalian nggak inget aku? Kalian amnesia? Dan satu hal Kak Kaito, aku ini cowok!!" si pemuda bertanya kebingungan. Biru tersenyum padanya, "Jadi kamu cowok to? Oooo.." "Aaah ya ampuun.. Kak Kaito bener-bener nggak inget aku?" Pemuda itu berkata dengan putus asa. "Looh.. Emang kita pernah ketemu dimana?" Biru bertanya dengan polos. "Aduuuh.." si pemuda menenggelamkan wajah ke telapak tangannya. "Aku Kagamine Len. Orang yang tinggal seapartemen sama kalian. Kamu.." Ia menunjuk ke Biru "Shion Kaito, seseorang yang udah aku anggep kakak di apartemen kita. Terus kalo kamu.." Ia menunjuk Ungu "Kamui Gakupo. Om Upo udah menikah. Om nikah sama orang rambut pink namanya Megurine Luka. Dan kita semua udah kayak keluarga di apartemen itu, sama Kak Meiko, Kak Miku, dan Rin."

#__#__#__#__#__#__#__#

"Jadi namaku itu Kaito?" Biru, yang kini mulai terbiasa dipanggil 'Kak Kaito', mengangguk-angguk. Selama 15 menit yang berlalu, Len sibuk menceritakan tentang masa lalu mereka dan bagaimana dia bisa ada di pulau ini, selagi mereka berjalan ke tengah pulau, dimana Ungu atau sekarang Gakupo mendeklarasikan bahwa mereka akan mengantar Len ke 'rumah' mereka. "Terus aku Gakupo." Gakupo mengangguk-angguk juga. "Iya Kak." Len tersenyum cerah, senang bahwa setidaknya Kaito dan Gakupo percaya semua cerita yang ia ceritakan. "Len, kita udah mau nyampe." Gakupo mengingatkan, sambil terus membelah sesemakan dengan tangannya untuk membuka jalan. Sedangkan Kaito berjalan di sebelah Len. "Kalian beneran bikin rumah?" Len masih merasa takjub. "Aku nggak mau tinggal di tempat kayak gini tanpa bikin rumah." Gakupo menjawab. "Berapa lama kalian bikin rumah?" tanya Len. "Nggak tau. Kira-kira 2 bulanan. Tapi itu cukup buat manjangin rambut Gakupo dari sepantat sampe setengah paha. Hahaha." Kaito nyeletuk. "Kaito, nggak usah ngumbar-ngumbar aibku deh." ujar Gakupo tanpa menoleh. "Dulu dia rambutnya sepaha lho. Sampe akhirnya suatu saat pas lagi nyari buah buat makan siang, dia berebut sama pejantan gorila yang lagi nyari buah. Gorilanya ngambek, terus dia dikejar-kejar gorila, rambutnya keinjek, terus dia gulat sama gorila. Pulang-pulang babak belur, aku langsung disuruh motong rambutnya.." Kaito bercerita dengan santai. "Kaito, Stop. Nah, Len. Kita udah sampe." Gakupo berdiri di balik semak terakhir, dan ketika Len sudah berdiri sejajar dengan Gakupo, ia melihat rumah pohon terhebat sepanjang masa..

To be continued..

Biar Miskin Tapi Hepi~(part 1)

Posted by :

Unknown

Date:

Senin, 09 Juli 2012

0 komentar

 "Leeen~!! banguun! Sudah pagi!! " teriak kak Meiko dari dapur. Karena saking kencengnya teriakan kak Meiko Len pun bangun. "Uhh... masih pagi kak! Kenapa teriaknya kenceng banget sih? untung kita tinggalnya di atas bukit.. jadi nggak ada yang denger!" "Haha kan kaak lagi masak sarapan kalian, kalau ditinggal nanti gosong! Udah sana bangunin kaito ! Kalian habis sarapan harus kerja dulu di ladang kan?" "iya iyaaa". Habis itu Len langsung lari ke kamar kaito yang bersebelahan dengan kamarnya. "Kaaak kaitooo!! BANGUUN!! Udah siaang!! kak Meiko marah-marah! Ayoo!! banguun!! " Len mengguncang-guncang badan kakak laki-lakinya itu sampai jatoh. "Aaah!! Aduuh!! sakiit! dingiin! tapi sakit!! uh.. Len! kenapa aku dijatohin?! T_T kan lagi mimpi indah!" "Kak meiko marah-marah tuh! lagian juga kita habis sarapan harus ngebantuin paman Upo di ladang kan? emang kakak mimpi apa?" "Aku mimpi ketemu putri Miku~ dia cantik banget!! Lugu and polos lagi!" "Tau dari mana putri Miku kayak gitu? kan kakak belum pernah ketemu sama dia... =__=" "Ketemu di mimpi udah cukup~ Tapi kalo ketemu beneran... Kyaaa~!!><" Kata Kaito sambil meluk-meluk gulingnya.

 "Akhirnya kaito kamu bangun juga.." "Hehe iya kak meiko~ lagi mimpi indah soalnya!" "Udah sana cepet makan habis itu bantuin paman di ladang!" "iyaa" "Itadakimaasu~!" Kata mereka bertiga bersamaan. Btw sarapan yang disiapin kak Meiko itu : Salad sayur(Tomat cherry, selada, kentang, wortel, dan kacang polong), Roti, Soup sayur(kentang, kacang polong) dan Segelas susu hangat. Sebenernya itu sarapan mereka sekeluarga (termasuk Bibi Luka dan Paman Upo) setiap hari, walaupun sederhana itu memang menu favorit mereka. Memang mereka agak miskin tapi mereka hepi-hepi aja tuh dengan gaya hidup mereka. "Pamaaan!! Kita bantuin yaaa!" seru Kaito pada paman Upo. "Boleeh! Kalian bantuin paman nanem bibit yak!" "Okee deh pamaan!" Seru Kaito dan Len bersamaan. "Len! Kamu bagian nyangkul aku yang nanem ya!" "Heh?! Curaang!! Kan kakak badannya lebih besar dari aku!!" "Yaah~ Ayolah Leen~! Aku kan fragile~!" "Halah.. alesan! Kalo alesan lagi aku buang persediaan eskrim kakak selama setahun!" "Gyaaa!! Jangaaan!! Huweeee!! Jangaan!! Iya iya aku yang nyangkul!" kata Kaito ngerengek-rengek sambil meluk Len. 'dasar... aku punya kakak kok kayak gini sih?-_-' ."Hora! Jangan berisik aja! Sana cepat bantu paman kalian!!" gertak bibi Luka."Hahahah Luka.. nggak usah begitu juga.. biarin mereka masih anak-anak ini! Ayo Kaito Len! Bantu paman keburu bibi kalian marah!=)" "Siaap Paman!" kata Kaito dan Len bersamaan sambil tersenyum.

 Sebenarnya kak Meiko, Kaito dan Len itu bukan anak, keponakan, maupun kerabat bibi Luka dan Paman Upo, mereka bertiga hanya seorang yatim piatu yang ditemukan di dalam hutan oleh paman Upo saat mencari kayu bakar untuk rumah mereka dan dijual. Karena bibi Luka dan paman Upo hanya tinggal berdua saja dan mereka kesepian mereka memutuskan untuk mengadopsi mereka bertiga. Walaupun keadaan bibi Luka dan paman Upo yang sangat memprihatinkan miskin mereka berlima sangat enjoy menikmati keadaan mereka saat ini.

 Sementara itu di kota pusat negara Vocaloid yang kecil, Putri Miku dan dua pelayannya yaitu Rin dan Gumi sedang berjalan-jalan nyari udara segar dari istana yang ketat peraturan itu. "Rin.. Gumi.." "Iya yang mulia?" jawab Rin dan Gumi bersamaan. "Aku bosen tinggal di istana yang penuh peraturan itu.. minggat yuk..=3=".
hening seketika..." YANG MULIA GIMANA SIH?! ANDA SEORANG PUTRI!! MASA' MAU MINGGAT?!" "IYA!! KAN ANDA SESEORANG YANG TERHORMAT!!" "tapi aku bosen di istana.. makanannya itu itu melulu! terus peraturannya ketat banget!" "Tapi yang mulia.. kalau mau kabur memangnya mau tinggal dimana?" "eh.. oh iya ya.. aku mau tinggal dimana?" "ya ampun yang mulia ini... baka.." "uuh..". Sehabis mereka bertiga membeli daun bawang yang putri Miku suka mereka pun kembali ke istana. "Aku pulang..." kata putri Miku. "Miku! Kamu kemana saja?! kakak khawatir tahu!! tiba-tiba ngilang gitu!" bentak    kak Mikuo(Raja negri vocaloid, kakaknya putri Miku, mukanya lumayan identik). "Maaf kak.. aku cuma nyari udara segar.." "Ya tapi kan kamu bisa izin sama kakak dulu!!" "Kan aku bisa pergi sendiri! aku bukan anak TK lagi!!" "Sudahlah! diomongin kayak apapun kamu bakal ngebantah kakak terus! sana masuk kamarmu!! kamu gak boleh keluar istana selama sebulan!!"  "Kakak iblis!!!"putri miku langsung lari ke kamarnya. "Kamu itu yang kepala batu.." gumam kakaknya. 

 Malam itu putri Miku langsung ngerencanain kabur dari istana ngajak Rin sama Gumi pelayannya. "Rin! Gumi! bantu aku mengepak baju-bajuku!" "Memang mau kemana?" "Kabur!" "Heee?!!" kedua pelayannya pun terkejut. "Aku males sama kakak iblis yang ketat peraturan... gak bebas!" BLETAK! Gumi menjitak kepala majikannya itu. "Yang mulia gimana sih?! egois banget!! Dia itu keluargamu satu-satunya tau!!" "t-tapi kan... dia.. iblis..." "Dasar putri egois! Dia begitu karena dia sayang and care sama putri egois kayak kamu! karena dia tau! kamu cuma punya dia buat ngelindungin kamu! trus dia cuma punya kamu untuk dilindungi! Baka!!" walaupun kalem Gumi ternyata agak pedes ya kalau jengkel. Miku pun langsung menangis dan Rin hanya panik untuk menenangkan si putri egois itu.

[Menurut kalian yang udah baca gimana? tolong kasih comment ya! biar ku lanjutin]

Kecemburuan Meiko

Posted by :

Unknown

Date:

Kamis, 28 Juni 2012

0 komentar

“Kaito..!! Kamu belom nyuci baju minggu iniii!! Giliranmu nyuci baju!!” Meiko memanggil-manggil Kaito di apartemen mereka. “KAITOOOO!!” Meiko berteriak. “Lho? Kak Meiko, bukannya Kak Kaito lagi kencan ya sama Kak Miku?” Len berteriak dari balik PSPnya. “Hah? Masa’ iya mereka kencan lagi? Hellooooo ini kencan kesepuluh mereka dalam sebulan!! Pacaran macam apa itu? Maniak??!!” Meiko marah-marah. “Yah kak, santai aja lah kak.. Kata Kak Kaito sih tadi, pas berangkat katanya dia mau nemenin Kak Miku ke supermarket buat beli daun bawang.” Len menjawab dengan santainya. “Yaa tapi kenapa aku terus yang kedapetan nyuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel, apartemen ini milik kita bersamaaa!! Mentang-mentang liburan dari Master, nggak pernah bersih-bersih.” Meiko semakin berapi-api. “Kenapa kakak nggak nyuruh aku bantuin kakak?” Len berkata sambil mematikan PSP-nya. “Ta, tapi kan kamu, lagi asyik main PSP.” Meiko tersentak dan menatap Len. “Kalo kakak nyuruh aku dari tadi sih, aku juga udah bantuin kakak nyuci baju. Sini mana bajunya?” Len berdiri. “Mmmm.. Di situ.” Meiko menunjuk keranjang yang penuh dengan cucian kotor. Maklum, di apartemen mereka tinggal Meiko, Miku, Len, Rin dan Kaito. Dulu sebelum Gakupo dan Luka menikah, mereka juga tinggal di apartemen itu. “Weleh -__- Sekarang aku ngerti penderitaan Kak Meiko, oke, bentar ya kak aku mau nyuci dulu.” Dan Len berjalan melewati Meiko yang cengok.

Meiko menggelengkan kepala. “Dasar anak baik. Rin aja nggak pernah serajin itu.” Meiko berkata pada dirinya sendiri. Meiko lalu mengambil sapu dan mulai menyapu lantai. ‘Ugh.. Kenapa sih dari dulu aku selalu mikirin Kaito? Kenapa kalo denger Kaito kencan sama Miku, perasaanku campur aduk? Ada marah, kecewa, apa-apaan tuh? Nyusahin aja.’ Meiko berkata dalam hati. ‘Apa aku suka sama Kaito? Aaaaah nggak nggak. Buat apa suka sama orang nggak berguna kayak gitu? Yang nggak pernah nepatin janji mau bantuin bersih-bersih.’ Meiko menggeleng dan mulai melupakan masalah itu, lalu ia melanjutkan pekerjaan menyapunya.

Jam menunjukkan pukul 7 malam. “Aku pulaaaaaaang..” Miku masuk apartemen dengan ceria. “Aku juga.” Kaito berkata datar sambil membawa 1 keranjang daun bawang dan beberapa fast food lainnya. “Weee Kak Miku udah pulang.. Bawa apa tuh kak?” Rin kebetulan juga sudah pulang dari nge-mall sama Gumi, temannya. “Bawa daun bawang impor. Waah ini kualitas tinggi loh. Lebih mahal.” Miku menjawab ceria. “Kaito, makasih ya udah beliin aku daun bawang nya.” Miku tersenyum. “Mmh, iya sama-sama Miku.” Walaupun semua itu menghabiskan seluruh isi dompetnya. “Kalian dari mana aja?” Meiko berkacak pinggang di dapur. “Supermarket.” Kaito menjawab tanpa rasa bersalah. “Kaito, kamu lupa hari ini kan giliranmu nyuci baju?” Meiko memelototi Kaito. “Eh? Masa’ iya sih?” Kaito kebingungan, ia mengecek kalender. “Oooo iya.. Ya ampuuun. Aku lupa Meiko, sini mana cuciannya..” Kaito berjalan ke dapur membawa sekeranjang daun bawangnya, siap ia taruh di lemari es. Meiko kembali ke pekerjaan memasaknya, dan Kaito tercengang melihat Len di dapur membantu Meiko. “Udah Len, sana kamu main sama Rin.” Meiko tersenyum pada Len. “Iya makasih ya kak.” Len mengangguk, lalu berjalan keluar dapur dan bergabung bermain dengan Rin dan Miku.

“Eeeh maaf banget Meiko aku lupa kalo hari ini bagianku.” Kaito meminta maaf. Meiko hanya terdiam dan memasang muka sinis. “Meiko?” Kaito terheran. Akhirnya Meiko berbicara, “Kamu kemana sih kalo kencan sama Miku, bisa seharian gitu?” “Yaaaah biasanya makan siang, terus ke supermarket, kadang ke Taman Impian. Aku udah paling seneng kalo kita ke Rumah Hantu..” Kaito tersenyum-senyum sendiri. “Aku nggak nanya kamu kemana aja sama dia.” Meiko mengomel sebal. “Woi, napa sih kamu? Masalah banget kalo aku jalan ama Miku.” Kaito menyerang Meiko. “Ih, apaan? Aku cuma nanya kok.” Meiko mulai emosi. “Oooh ya udah nyante dong mukanya. Meiko yang aku kenal nggak kayak gitu. Meiko yang kukenal pas SMP orangnya enjoy, walaupun pendiem, serem, nggak ada senyum-senyumnya, jahat, kejam, pemarah. Hahahaha..” Kaito mencoba membuat Meiko tertawa. “Diem nggak? Ato nggak keluar dari dapurku!” Meiko mulai mengancam, tapi.. Pisau yang ia pegang dia acungkan ke arah Kaito. “I, iya iya. Maap maap.” Kaito pucat. Meiko menurunkan pisaunya. ‘Ya ampun. Hawa pembunuh apa itu tadi?’ Kaito berkeringat. Lalu Kaito melakukan pekerjaannya, yaitu mencuci piring.

Semenjak kejadian itu Meiko tidak tersenyum sedikit pun ataupun berbicara. Dan Kaito, yang punya firasat nggak enak. Jaga jarak dari Meiko saat makan malam, tapi, bahayanya, malah deket-deket ke Miku. “Miku, aku sebelahmu ya..” Kaito membawa piringnya ke sebelah Miku. Miku mengangguk. “Makasih ya Kaito udah beliin aku daun bawang impor, lumayan tuh buat temen makan besarku.” Miku tersenyum menunjuk ke piringnya. “Iya sama-sama Miku.” Kaito tersenyum. “Eh, Miku, kamu nggak nyadar ya kalo makan daun bawang bikin keringetmu bau tau. Bau kecut kayak orang nggak pernah mandi. Oya Kaito, bukannya uangmu itu buat beli es krim kesukaanmu yang rasa vanilla yang enak yang nggak gampang meleleh itu? Gimana sih, uang kok cuma buat beli daun bawang nggak mutu?” Meiko menyindir pedas di tengah suapan makanannya. “Me, Meiko. K, kok ngomongnya kayak gitu?” Miku memasang muka panik. Sedangkan Kaito memelototi Meiko. “Yah, cuma biar kamu sadar kalo beli daun bawang banyak-banyak nggak bagus.” Meiko memelototi Miku dan mencengkeram garpunya. Rin, yang duduk di sebelah Meiko, duduk lebih jauh dan mendempet ke Len. Sedangkan Len, mengunyah makanannya cepat-cepat agar tak terlibat. “Aku masih ada banyak simpenan di bank. Emangnya kamu? Kere’?” Kaito menyindir balik. “Aku juga ada di dompet sama di bank.” Meiko mengendurkan cengkeramannya. “Aku duluan makannya. Udah nggak napsu.” Meiko membanting garpunya, lalu pergi dan masuk kamar.

“Apaan tuh??” Kaito memandang piring Meiko yang masih setengah sambil mengernyit mendengar bunyi pintu kamar dibanting. “Serem amat Kak Meiko.” Rin mengernyit juga sambil menjauh dari Len dan makan dengan posisi biasa. “Aku terakhir liat dia kayak gitu pas SMA pas dia nyobek buku paketku, cuma gara-gara pas ulang tahun segala barangnya kuumpetin.” Kaito mengingat masa lalu. “Weleh, segitunya.” Miku angkat bicara. “Iya dia emang sahabatku yang paling kejam sedunia.” jawab Kaito. “Lha emang kakak kenal Kak Meiko dari kapan?” tanya Len. “Dia sesekolah sama aku pas SMP SMA, plus tetangga sebelahku. Terus, di antara cowok yang lain, aku yang paling sering digebukin, tapi, aku yang paling sering dia ajak ngobrol. Aneh dia mah, katanya obsesinya jadi Polwan, tapi nggak boleh sama mamanya. Ya udah dia stuck di Vocaloid sama kita.” jelas Kaito panjang lebar. “Tapi, Meiko nggak suka sama kamu kan Kaito?” Miku nanya frontal. “Hah? Ng, nggak tau deh.” Kaito kaget Miku bertanya seperti itu. Mendengar jawabannya Miku mengangguk. Akhirnya Len mengalihkan topik, “Mmmm.. Hehe, tadi kalian kemana aja?”

Di dalam kamar.. Meiko tiduran telentang di kasurnya. “Baka.. Tadi kenapa aku konyol gitu sih? Aaaaaargh!! Perasaan cewek itu nyusahin!” Meiko membanting guling ke lantai. Meiko menyadari, bahwa keinginan sebenarnya adalah, ia ingin mengobrol dengan Kaito tentang semua yang mereka biasa bicarakan dulu. Cuma, sepertinya Miku bukan tipe cewek yang tomboy sepertinya. Dan tidak akan membicarakan tentang, mmm, anime shonen yang baru terbit, pertandingan tinju, sepak bola, dan semuanya. Dulu, Meiko dan Kaito hidup sederhana, rumah mereka bersebelahan. Jika ada badai, biasanya mereka akan membetulkan antena TV bersama di atap sambil membicarakan tentang pertandingan bola semalam. Atau mereka akan membuat layang-layang dan lomba main layang-layang, malah kadang jika ada kerja bakti, mereka akan membersihkan selokan bersama, menangkap kecebong (?). Apabila Meiko berulang tahun, Kaito akan melakukan sesuatu yang membuatnya marah, dan Meiko akan menggebukinya habis-habisan. Walaupun begitu, Kaito tetap melakukannya setiap tahun. Pokoknya, sahabat deket buanget deh. Tapi kenapa sekarang malah pacaran sama Miku? Kenapa kalo Meiko ulang tahun, dia cuma ngasih ucapan selamat doang? Semua gara-gara Miku! Tapi ia tidak membenci Miku, anehnya. Ia hanya marah pada Kaito. Dan, besok ulang tahunnya, ia berpikir apakah Kaito akan ingat atau tidak.

Esoknya.. Mereka semua terbangun jam 7 pagi. Meiko terbangun lalu nyamperin Miku. “Miku, maap yaa kemaren kata-kataku nggak sopan.” “Mmm.. Yaa nggak papa kok Meiko.” Miku tersenyum. “Makasih ya.” Meiko tersenyum juga. “Meiko, sekarang giliranku nyuci baju ya?” tanya Miku. “Iya kayaknya.” jawab Meiko. “Oke aku nyuci dulu ya.” Miku pergi ke keranjang cucian. “Miku aja inget nyuci masa’ kamu nggak?” Meiko menatap Kaito sinis. Kaito tersedak di minumannya. “Uhuk uhuk. Ehem.. Iya maap.. Kayak kamu nggak pernah salah aja.” Kaito menyindir Meiko, dan langsung pergi keluar apartemen. Meiko tersinggung, dan pergi begitu saja, ia kecewa, karena sepertinya Kaito tidak ingat hari ini hari apa. Meiko pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan, tapi ia heran Rin sudah di sana menyiapkan makanan. “Lho? Rin?” “Kakak istirahat aja sekarang. Aku aja yang masak, kalo keasinan maap.” kata Rin. “Oh.. Bener nggak papa nih Rin?” Rin mengangguk. Lalu Meiko pergi mengambil sapu, tapi ia heran, Len sedang menyapu lantai. “Len? Ngapain kamu?” “Nyapu. Kakak nggak usah kerja dulu aja.” jawab Len. “I, iya deh. Kaito mana?” tanya Meiko. “Tadi katanya keluar mau beli es krim yang nggak gampang meleleh.” Len menjawab santai. “Suka banget kabur dari masalah. Kalo gitu aku mau hajar dia..” Meiko lalu pergi keluar apartemen, lagi-lagi membanting pintu. Rin mengernyit, dan mengatakan “Kak Miku, kalo udah gede, pastiin Kak Miku aja yang nikah sama Kak Kaito. Soalnya kalo Kak Meiko yang nikah sama Kak Kaito, ancur pintunya.”

Kaito berlari keluar dari apartemen. Segera berlari ke jalan raya. Di tangannya, ia membawa semua sepatu kets Meiko di apartemen, dan juga sandal swallow andalan Meiko. Ia berlari menuju ke pertokoan, ke toko es krim favoritnya. Setelah itu, ia berlari ke pinggir sungai, tempat ia biasa melihat ngomongin anime Jepang dulu ketika masih SD bersama Meiko. Kaito duduk di sana sambil pura-pura makan es krim. “KAITOOO!!!!” teriakan Meiko terdengar dari kejauhan, ia berlari sekuat tenaga *ibaratin aja kalo di komik, lari sampe ada asep-asepnya sama marah-marah yang mulutnya kotak itu*. BUAK!! Meiko menendang Kaito. Kaito terpental, “Aaaaaaah.. Es krim kuuu!!!” Kaito berteriak, es krim nya meleleh dan jatuh ke sungai. “Kaito!! Ngapain sih kamu kabur dari apartemen!! Sepatuku dibawa semua, aku ke sini nyeker dikatain orgil tau nggak?? Hiyyaaa..” Meiko menonjoknya lagi. Kaito terjerembab di tanah, pipinya biru. “Kenapa sih Mei? Es krimku jatoh semua tau..” Kaito memprotes. “Aku nggak peduli es krim! Mana sepatuku??!! Itooo!!!” Meiko meneriakkan panggilan masa kecil mereka. “Elah ini ini ini..” Kaito menyerahkan kresek berisi semua sepatu dan sandal Meiko. “Mei, nggak usah emosi dong.” Kaito mengusap bajunya. Rupanya saking ramainya Jepang, tidak ada yang sadar ada dua orang berkelahi di pinggir sungai. “Lagian ngapain kamu nyembunyiin sepatuku?? Aku ngejar kamu sampe sini, nyeker, dikatain orgil..” “Salahnya ngapain ngejar aku?” Kaito nyolot. “Idiiih.. Kalo sama kamu, nggak pernah ada yang aman!” Meiko membentaknya. “Kamu lupa ya, tandanya apa kalo aku ngumpetin barang-barangmu?” Kaito bertanya.  Meiko terdiam, dan ekspresinya melunak, tapi “Nggak!” jawabnya. “Nggak usah pura-pura lupa! Kamu masih marah gara-gara kemaren?” “Iyalah!!” “Kenapa harus marah? Kemaren itu anniv ku yang ke 3 tau pacaran sama Miku.” “Terus??” “Yaa kamu doain biar aku langgeng sama Miku. Kamu harusnya seneng kalo sahabatmu ini bisa pacaran lama. Nggak playboy.” “Nggak mau!!” “Kamu kenapa sih? Nggak suka aku pacaran sama Miku?” Meiko terdiam. “Jawab Mei!” Kaito memaksa. Meiko tidak menjawab. Ia menunduk, pura-pura memakai sepatunya, ia menangis.


Kaito menunduk juga, mendengar isakan dari Meiko, mengira Meiko pura-pura nangis. “Deh. Nangis.. Hahahahaha payah Meiko.” Kaito mentertawakannya. Meiko sekarang berhenti memakai sepatunya, tapi menaruh wajahnya di tengah lututnya, dan menangis keras. Kaito melotot, ia tidak tau Meiko beneran menangis. “Eh eh Meiko.. Maaf..” Kaito mulai panik. Meiko tetap menangis. “Iya iya. Met ultah. Aku cuma mau ngucapin itu kok. Kok jadi kamu yang nangis?” Kaito pura-pura tidak panik. Meiko mengangkat wajahnya. “Bodoh. Ka****t. Go***k. B*go. T**ol!! Ngapain aku nangisin kamu?” Meiko berhasil tidak terisak lagi. “Lha barusan. Jawab Mei, kamu nggak suka aku pacaran sama Miku?” Kaito menanyakan hal yang sama. “Kalo aku jawab nggak suka, emangnya kamu bakal putus?” tanya Meiko. “Nggak lah. Miku itu paling top.” Kaito menjawab jujur. “Terus ngapain nanya gitu ke aku?” Meiko membentaknya lagi. “Nanya aja. Habis kamu selalu marah kalo aku nyebut-nyebut nama Miku. Kan aku nya jadi nggak nyaman.” jawab Kaito. Ekspresi Meiko melunak kembali. “Oh.. Terus?” “Yaa kamu itu sahabat deketku Mei. Nanti kalo aku nikah sama Miku, aku mau nya kamu jadi pengiringnya Miku. Sebelum hari itu, aku harus rukun lah sama kamu.” Kaito senyum-senyum. “Jadi aku ini dimanfaatin cuma buat pengiring pengantin?” tanya Meiko. “Aaaargh. Bukan begitu. Aku ngerti selama ini kamu kesepian. Soalnya aku juga selalu mentingin diriku buat pacaran sama Miku. Jadi..” Kaito menatap Meiko serius, Meiko juga menatap Kaito penuh harap. Kaito terdiam..

“Jadi ntar aku bantuin kamu cari jodoh.” Kaito mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Meiko menunduk lesu. “Aku bisa cari jodoh sendiri.” Meiko memalingkan wajahnya. “Eeeehh.. Meiko!! Kamu sahabatku!! Jangan ngambek gitu dong elah..” Kaito mulai panik kembali. Meiko hanya menatap Kaito sinis. “Meiko!!” bentak Kaito. “Iya iya maaf Ito.. Bukannya aku nggak suka kalo kamu pacaran sama Miku. Tapii.. Yah.. Nggak berarti kamu lupa urusan bersih-bersih. Aku.. Aku..” Meiko terbata-bata, ingin sekali mengatakan “suka sama kamu”. “Kamu paling kalo aku yang bersih-bersih kan? Soalnya lantainya jadi kinclong. Iya iya.. Gampang.. Aku janji deh bakal selalu inget jadwal bersih-bersih. Maaf Mei soal kemaren. Kamu nggak marah lagi?” tanya Kaito bersemangat. “Iya nggak.” Meiko akhirnya menjawab.  “Siip. Kamu jadi pengiringnya Miku ya kapan-kapan??” Kaito kembali bertanya hal itu. “Iya udah.”  Meiko mengangguk. “Siiipp.. Pulang yuk. Kita bersih-bersih.” Kaito tersenyum. Dan Kaito mulai berjalan. Ctak!! Meiko menjitak Kaito “Itu buat sepatuku. Ya udah ayo pulang. Jangan lupa bersih-bersih lagi.” Meiko mengingatkan sambil pura-pura ketus. “Siip.. Nanti aku jodohin kamu sama kakakku deh.. Akaito, biar kamu nggak kesepian lagi.” Kaito tersenyum. Meiko tersenyum miring ke Kaito. ‘Ya udah nggak papa. Yang penting dia masih inget ulang tahunku.’ Dan Meiko memutuskan untuk tidak marah lagi.

Sesampainya di apartemen.. “Kami pulaaaang..” Kaito berteriak girang. Apartemen gelap.. Seketika lampu dinyalakan. “SELAMAT ULANG TAHUN MEIKO!” dan Len, Rin, Miku berteriak. Di meja depan TV, 2 botol Coca-Cola yang besar diberi pita. Dan beberapa makanan disiapkan di meja makan.. Meiko kaget. “Hah? Apaan nih?” Ia berseri-seri. “Kan kamu ultah Meiko.” jawab Miku. “Ngapain repot-repot? Kerjaanku di sini kan cuma marah-marah doang..” Meiko kaget sekali. “Yaah kita sadar kalo selama ini selalu kamu yang bersih-bersih. Jadi kita siapin ini semua deh.” jawab Miku. “Waah makasih..” teriak Meiko. “Kak Meiko, itu ayo sarapan bareng.” Kata Rin. Dan mereka berjalan ke meja makan. Sekarang Kaito duduk sebelah Miku lagi, dan Meiko di sebelah Len dan Rin. Tapi sepertinya ia tidak keberatan.

“Kak, gimana bisa baikan sama Kak Kaito?” Len berbisik pada Meiko. “Yaah.. Kalo kamu suka sama orang Len, kamu rela ngapain aja.” Meiko menjawab. “Ooh.. Jadi Kak Meiko suka sama Kak Kaito..” Len menyuap makanannya. “Iyaah gitu lah. Jangan bilang siapa-siapa ya.. Tapi aku udah seneng dia inget ultahku. Kalo Len suka sama siapa?” Meiko bertanya. “Mmm.. Kalo suka maksudnya gimana sih kak?” tanya Len. “Yaaah.. Ada cewek yang kamu suka nggak?” Meiko memperjelas. “Selama ini aku sayang banget sama Rin.” Len menjawab tanpa mengerti maksudnya. “Euh.. Ya paling ntar kamu nemu sendiri.”



Sepanjang hari itu mereka lewati dengan bersih-bersih. Liburan dari Vocaloid sudah selesai, besok mereka akan masuk kerja lagi. Dan mereka siap untuk bekerja. Sepertinya mulai hari ini, Meiko juga tidak keberatan kalau Miku dan Kaito pacaran J



NB: Selesaii deh. Maaf kalo ada yang nggak setuju sama cerita ini. Kalo mau kritik atau apapun silakan. Aku nerima kritikan apa aja. Maaf kalo agak garing ato sok sinetron. Selamat membaca.. :D Oya, “baka” itu bahasa Jepangnya “bodoh”

Latar Belakang Kaito n' Gakupo

Posted by :

Unknown

Date:

Jumat, 22 Juni 2012

2 komentar

Di suatu siang yang terik tapi berangin, Kaito dan Gakupo sedang beristirahat di padang rumput hijau nan subur di pinggir kota. Tepatnya mereka beristirahat dari shift pagi mereka bekerja di Oishii Sushi, kedai sushi kecil milik Bu Meiko yang gualak abiss.. Shift mereka di sana hanya jam 08.00-10.00 pagi, dan jam 14.00-18.00 di sore hari. Kaito sedang memandangi tangannya yang lecet-lecet karena mencuci piring terlalu banyak, dan Gakupo sedang memandangi juga tangannya yang kapalan karena memotong sushi sampe napsu.

“Aaah, Po, kapaaan ya Master ngasih kerjaan buat kita, katanya di Vocaloid nyanyi semua, mana buktinya? Len Rin Miku mulu yang disuruh nyanyi.” Kaito mengeluh. “Tau yaak.. Kita nggak disuruh nyanyi sama sekali.. Maklumin dong, Master, kita kan butuh uang juga. Malah jadi nyasar kerja ke kedai sushi nya Bu Meiko, galak banget lagi.” Gakupo ikut-ikutan. “Iya, pantes Bu Meiko masih single, lha orang ngamuknya kayak kingkong gitu..” Kaito nyeletuk. “Bahahaha dalem To.. Tapi.. Bener juga sih..” Gakupo manggut-manggut. Mereka terdiam agak lama..

“To.” Gakupo memanggil. “Apa?” Kaito mengambil posisi rebahan sambil 2 tangan di bawah kepala. “Pernah nggak sih mikir kalo Master itu ngasih kerjaan ke orang kaya doang?” Gakupo tengkurep sambil main-mainin putri malu *MKKB yak* “Iya. Kita yang miskin-miskin nggak pernah dikasih kerjaan apa-apa..” Kaito mengangguk.

“Loh!!” Mereka teriak bareng-bareng.

“Kaito!! Kamu orang miskin??” Gakupo cengok sambil ngeliatin Kaito. “Eeeh siapa bilang?? Aku orang kaya kok.  Bajuku yang buat nyanyi bagus, nggak kayak kamu, baju nyanyi minjem dari dojo.” Kaito ngeles. “Eeh.. Bajuku yang buat nyanyi itu dibeliin warisan kakek moyangku yang di Zaman Edo tau..” Gakupo ngeles juga. “Hah? Zaman Edo? Jadul amat. Halah apa buktinya, kalo aku liatin kalo kamu nyanyi bajumu itu-ituuu aja, sama kalo kerja sambilan sama aku, pakenya oblong kumel sama jeans sobek-sobek kayak apaan tau..” Kaito nunjuk ke bajunya Gakupo. “Hayah.. Kamu juga, pakenya oblong abu-abu kucel sama celana pendek abal-abalan..” Gakupo giliran nunjuk bajunya Kaito. “Jadi kamu nuduh aku KAMSEUPAY??” Kaito berdiri, sok-sok dramatis. “Hah kamseupay apaan? Tapi, iyalah!!” “AAAAARGH..”

Blablablablablabla.. Mereka debat bentak-bentakan.. Sampe akhirnya capek sendiri.. “Ah elah To. Nggak ada selesai-selesainya debat sama kamu.” Gakupo ngos-ngosan. “Iya. Po, gimana kalo kita cerita-cerita aja tentang keluarga miskin unik nan bahagia kita..” Kaito mulai nenangin suasana. “Ah nggak ah. Aib ah aib.” Gakupo nolak mentah-mentah. “Ya udah sih gapapa.. Sesama orang kismin harus saling membantu eak.” “Hmm.. Ya udah. Kamu dulu To.” Gakupo akhirnya nge-iya-in juga.
“Tapi jangan nyebar ya.. Yang tau cuma kamu sama Len doang, sama, keluargaku pastinya.” Kaito ngajuin syarat. “Iyaiya..” Dan Kaito mulai bercerita:
“Ibuku punya 9 anak. Kikaito, Akaito, Kizaito, Zeito, Taito, aku, Mokaito, Kaiko, Negaito. Bapakku pergi merantau entah kemana. Udah lamaaaa banget dia merantau, semenjak Negaito lahir. Ibuku sakit-sakitan di rumah, sedangkan rumahku itu cuman rumah kecil yang dibayar ngontrak. Nah.. Kikaito udah menikah, sekarang dia ikut istrinya ke Amerika coba?? Nggak pernah balik, nggak pernah pulang.. Apa banget? SMS nggak pernah, telpon nggak pernah..” “AKU NGGAK PUNYA PULSA!!” Gakupo memotong dengan muka sok-sok mewek. “Hayah! Korban iklan kau! Ceritaku masih panjang ini..” Kaito mengomel. “Iyaiya maaf, lanjut To.” Gakupo masih cekikikan. Dan Kaito pun melanjutkan ceritanya:
“Akaito sekarang lagi cari kerja, tapi anehnya nggak dapet-dapet, padahal udah interview sampe kemana-mana. Kizaito jadi supir taksi express tarif bawah, haduuh kasian Kizaito, pasti dia capek, soalnya dia kedapetan shift malem. Zeito jadi pegawai perusahaan tapi gajinya kecil, gara-gara dia suka difitnah sama bosnya. Untung aja ada Pak Kiyoteru, temennya yang ngebela-bela sama mempertahankan dia di perusahaan itu. Terus Taito, dia jadi satpam 24 jam di bank VocaMoney, sayangnya banyaaak banget perampok yang mau masuk bank itu, tapi selalu kalah kalo ketauan n’ berantem sama Taito, makanya dia perban-perban dimana-mana. Kalo Mokaito, sekarang dia masih SMA kelas 2, itu juga beasiswa, untung dia anaknya pinter. Kalo Kaiko, dia SMP kelas 2 sekalian ngurus rumah. Kita suka ngutang bayar sekolahnya Kaiko, terus terakhir Negaito. Dia masih kelas 4 SD, belom ngerti apa-apa, tapi dia suka cari uang tambahan caranya bantuin Bu Luka jualan di toko kelontong deket rumah. Untuuuung aja baik banget Bu Luka, ngasih uang tambahan yang banyak. Terus aku, aku kerja di Vocaloid, tapi nggak pernah dikasih kerjaan apa-apa, kerja sambilan di kedai sushi Bu Meiko, galak, nggak modal lagi. Beuuh payah payah.. Yah, ini hidupku Po.” Kaito mengangguk tanda ceirtanya sudah selesai.

“Wew.. Aku nggak nyangka separah itu To.. Malang amat yak.. Kamu pasti nggak bahagia?” Gakupo bertanya. “Eeeeh siapa bilang?? Aku bahagia kok. Aku masih ada banyak orang yang sayang sama aku hooo.. Emangnya kamu??” Kaito menunjuk Gakupo. “Heeh sembarangan. Yang peduli sama aku banyak kok. Mmm, kamu, mm, keluarga, terus, mmm…” Gakupo berpikir. “Tuuuh nggak ada kan?? Hahahaha.. Kalo aku ada dong. Selain keluarga..” Kaito melet ke Gakupo. “Hah! Nggak percaya.. Siapa aja emang?” Gakupo nantangin. “Len, sama Miku pacarku.” Kaito senyum-senyum nggak jelas. “Bahahaha.. Emang Len ngapain? Kamu kesenengan yaa yaoi an sama Len?” Gakupo nggoda. “Hayah. Siapa bilang? Len tuh baik banget sama aku tau. Asal kamu tau ya Po, dia yang beliin baju bagus yang biasa aku pake buat nyanyi, kadang dia bantuin bayar kontrakan rumahku, ato sekolah adek-adekku sama obat ibuku kalo keadaan mendesak. Hebatnya lagi, dia ngelakuin itu tanpa sepengetahuan Rin. Haduuh ya ampuun, coba nggak ada Len, pasti aku udah ngemis lampu merah.” Kaito mengatakan itu dengan berapi-api dan air mata bercucuran *halah* “Iyaiya udah udah. Jangan puji Len depan aku. Aku nggak suka Len. Kenapa sih semua orang bilang Len cakep, Len keren, giliran aku, dijelek-jelekkin. Dibilangin rambutku kayak terong. Wooi!! Len itu masih SMA! Dia masih harus sibuk ngurusin SMA nya, nggak boleh pacaran!! Ya mending pacaran sama aku lah. Yang lebih tua, lebih mapan, lebih keren.. Udah MATENG!!! Harus cepet-cepet nikah!!” Gakupo sekarang yang berapi-api. “Uugh.. -__-‘’ Bilang aja kamu cemburu.. Lagian salahnya, rambut panjang-panjang, ungu, kayak sapu tau nggak. Mbelit-mbelit tubuh kayak orang autis.” Kaito nyindir Gakupo dalem. “Heh!! Ini kulakuin demi keluargaku tau!!” Gakupo marah-marah. “Udah udah. Sekarang giliranmu Po. Cerita tentang keluargamu.”

Gakupo ngehela napas. “Hhhh.. Iya. Dengerin ya. Inget juga, jangan nyebar.” Dan Gakupo mulai bercerita:
“Keluargaku tinggal di rusun di gang kecil, rumahku di paling atas, yang jemurannya paling banyak. Bapakku kerja di bengkel sepeda di pinggir kota. Gajinya kecil. Adek cewekku, Kagura, dia sambil kuliah di universitas yang nggak terlalu bagus, kerja sambilan, tapi masalahnya dia cuma jadi mbak-mbak yang jualan bubble di pinggir jalan. Untuung aja yang punya toko bubble, Mbak Gumi, baik banget sama dia. Jadi suka dikasih bubble gratisan, yah, lumayan laah.. Ibuku. Naah ibuku. Ibuku cuma jadi ibu rumah tangga, kadang dia nyuciin baju tetangga buat uang tambahan. Tiap akhir tahun, pas gajian, ibuku masak lodeh terong pualing enak sedunia. Haduuh, itu masa-masa favoritku..” Gakupo tau-tau ngeces. “Bahahahaha.. Gakupo anak mamii.. Masih dimasakin ibunya. Hahahahaha..” Kaito ngakak berat. “Hayah! Kamu sih nggak pernah nyobain lodeh terong ibuku. Kapan-kapan yak kubawain, awas kalo nambah.” Gakupo ngencem. “Iyaiya Po. Maap. Lagian kamu enak dimasakin ibumu. Kalo aku, pasti Kaiko yang masak, masakannya dia, yah, suka keasinan ato hambar gitu deh..” Kaito curhat sambil pasang muka sedih. “Iya juga sih. Yah.. Cepet sembuh juga buat ibumu. Oiya, soal rambutku, asalnya rambutku nggak gini To. Rambutku cepak, beneran deh, cepak. Cumaaa.. Pas aku masuk Vocaloid, kata Master aku harus manjangin rambut kalo mau masuk Vocaloid. Aku nolak, terus aku cari kerja lain tapi ditolak, akhirnya aku balik lagi ke Vocaloid terus manjangin rambutku. Akibatnya, jadi gini. Asal Master tau, repot tau keramasnya.” Gakupo masang muka sebal. “Aku nggak percaya kamu cepak. Kayak apa ya kalo kamu cepak? Hahaha nggak kebayang.” Kaito cekikikan.

Nit nit nit. Jam tangan Gakupo berbunyi. “Eh To, kita harus cepet-cepet kerja nih. Hah!! 5 menit lagi!” Gakupo panik. “Hah?? Yang bener aja!! Ya udah ayo cepet pergi!” Kaito dan Gakupo berlari keluar padang rumput, langsung nyerocos ke jalan raya. “OJEK!! OJEK!! ANGKOT!! BAJAJ! APAPUN! Berhenti dong!! Kita butuh tumpangan niih..” Kaito teriak-teriak. “Heh Kaito! Malu-maluin tau..” Gakupo kaget. “Udah gapapa, tuh, ojeknya langsung dateng.” jawab Kaito. “Kemana Mas?” abang ojeknya nanya. “Ke Kedai Sushi Bu Meiko, sekarang, goncengan bertiga, GPL ya Bang!” Kaito bilang sambil naik ojeknya. “Hah? Kan itu jauh banget Mas.” Abangnya protes. “Udah nggak papa. Nyelonong aja Bang.” Kaito maksa. Dan mereka ngebut nyelonong nyalip-nyalip nggak jelas di perjalanan, sampe akhirnya telat 2 menit di Kedai Sushi Bu Meiko.

4 jam kemudian. Waktunya pulang..

“Aduduuh pegel.” Kaito jalan keluar kedai sambil mijet-mijet lehernya, Gakupo jalan di belakangnya. “KAITO!! GAKUPO!! Kalian telat terus dari dulu.. Pokoknya kalo kalian telat lagi, kalian kupecat!! Sono!! PERGI!!” JEBLAK!! Bu Meiko ngebentak mereka terus mbantu pintu, sampe papan tulisan TUTUP nya jatoh ke bawah. “Et dah. Galak amat. Pantes aja masih single.” Gakupo noleh ke belakang, ngeliatin papan TUTUP yang pecah. “Katanya kamu mau nikah, no, nikah sama Bu Meiko aja.” Kaito nyeletuk. “Kalo sama Bu Meiko mah aku nggak mau To.” kata Gakupo. “Hahaha, iya sih. Dalam 2 hari rumah ANCUR langsung!!” Kaito ngasih penekanan di kata-kata ANCUR-nya.



‘Segaaaaaaite.’.
 Ringtone HP ‘World is Mine’ Kaito berbunyi. Kaito langsung mengangkatnya. “Halo.. Iya.. Oh Master.. Iya.. Iya.. Iya aku sama Gakupo sekarang.. Hah?? Ada kerjaan?!!.. Iya Master sebentar ya..” Dan Kaito menutup telepon. “Kata Master apa?” tanya Gakupo. “Kita dapet kerjaan Po!! Ayooo! Kita langsung ke Vocaloid Headquarters!! Kita ketemu Master!” Kaito teriak-teriak kesenengan. “Wuiii.. Okeh!! Langsung ke sana!!” Dan mereka berlari menyusuri gang-gang kecil, sampai akhirnya tiba di jalan raya. “ANGKOT!! ANGKOT!! BANG!! BANG!! Berhenti Bang!! Elah.. Mau dapet rejeki nggak sih??” Gakupo sekarang yang ngomel-ngomel di jalan raya. 1 angkot berhenti. “Naik sini Mas.” kata supir angkotnya. “Pak, kita ke Vocaloid Headquarters ya?” Kaito bilang sambil masuk angkot. “Lho, Mas, itu melenceng jauh dari rute saya..” Supir angkotnya protes. “Mmmhh.. Kita bayar 2 kali lipat deh.” Gakupo menawarkan. “Lho!! Po!!” “Udah gapapa. Jalan Pak.” Dan angkot itu mengantarkan mereka dengan selamat dan tanpa nyelonong ke Vocaloid Headquarters.

“Makasih ya Pak.” Gakupo menyerahkan uangnya. Supir angkot itu menerimanya dan meninggalkan mereka. Kaito dan Gakupo, dengan oblong kucel kumel sampe hampir dikira maling sama satpamnya, nyelonong masuk ke Vocaloid Headquarters. Mereka langsung baik lift ke lantai paling atas, tempat kantor Master. Habis naik lift, mereka nempelin jari ke alat sidik jari di depan kantor. Sampe akhirnya masuk ke kantor dan menghadap ke Master mereka.

“Master!! Kami akhirnya sampe di sini.” Kaito dan Gakupo menunduk ke Master yang duduk di kursi besar. “Lama amat kalian nyampe kantor saya. Mana pake kaos abal-abalan begitu. Saya nggak mau liat lagi kalian pake baju kayak gitu ke kantor saya!” Master berkata dengan tegas. “Iya maaf Master. Soalnya tadi kami baru selesai kerja sambilan.” Gakupo menjawab. “Iya tapi saya nggak mau anggota Vocaloid DEKIL kayak kalian gini. Kalian mau apa ke kantor saya?” Master pura-pura nggak tau kalo mereka dipanggil buat nerima kerjaan. “Lho? Kan tadi katanya Master punya kerjaan buat kita?” tanya Kaito. “Iya bener. Kalian aja datengnya telat, apa buktinya kalo kalian niat kerja sama saya! Payah!” Master memandang mereka seolah-olah mereka noda di kain sutra bersih. ‘Elah rese’ banget jadi Master belagu!!’ Gakupo ngumpat dalam hati. “Kita niat Master, cuma tadi jalanan macet.” Kaito nyari alesan. “Ya sudah. Kerjaan kalian, ngisi video yaoi buat MMD.” Kata Master. “Hah? Master!! Kami nggak mau!!” Gakupo udah nyerocos, dia udah kesel banget. “Oh ya sudah. Keluar dari kantor saya.” Master nunjuk pintu. “Master nggak bisa gitu dong! Kami juga punya keluarga, punya harga diri! Len, Leon, Piko aja nggak pernah sampe segininya. Kasih kerjaan tuh yang bener!!” Gakupo protes, Kaito melotot ke Gakupo, Kaito nggak mau nyari masalah.

Segaaaite.. Ringtone HP Kaito berbunyi lagi. Kaito mengangkat telepon dan memelankan suaranya. “Halo.. Iya.. Iya.. Oh, Kaiko.. Kenapa dek?.. Hah! Ibu sakit?.. Hah? Asmanya kambuh? Obatnya abis?.. Oo iyaiya sabar ya bentar lagi kakak pulang.. Iyaiya daaah..” Dan Kaito menutup teleponnya. “Master, boleh beri kami waktu sebentar, mau diskusi sebentar.” Kaito minta izin. Master mengangguk. “Po, sini.” Dan Gakupo mengikuti Kaito berjalan keluar kantor. “Kenapa ibumu?” Gakupo langsung nanya begitu sampe luar. “Ibuku sakit lagi. Asmanya kambuh, obatnya habis. Po, tolongin aku dong.. Terima pekerjaan dari Master, biar aku bisa beli obat.” Kaito mohon-mohon. “Po, kalo cari kerjaannya maho gitu aku males. Apalagi ntar aku yang suruh napsu sama kamu, aku nggak mau!!” Gakupo nolak. Lalu tau-tau HP Gakupo berbunyi. “Iya.. Halo.. Iya Bu?.. Hah? Kagura kenapa?.. Kagura kecelakaan!! Ya ampun.. Kakinya sobek.. Iya, iya Bu, ntar Mamas ke sana..” Gakupo menutup telepon. “Aaaaaargh kenapa Kagura harus kecelakaan!! Dia sekarang di Rumah Sakit..” Gakupo panik. “Terus gimana dong Po? Kita butuh uang!! Nggak ada pilihan lain selain nerima kerjaan Master.” Kaito menatap Gakupo serius. Gakupo mikir sebentar. “Aaah ya udah lah. Kita masuk ya To.” Gakupo pasrah. “Iya!! Demi ibu!! Demi nasi 3 kali sehari, demi sekolah adek-adek.” Kaito berapi-api. “Iya, demi lodeh terong, demi Kagura. Kita siap maho!!” Dan mereka masuk. “Gimana?’ kata Master. “Iya Master, kami terima kerjaannya.” Mereka mengangguk. “Bagus, besok dateng ke sini, lantai 5, jam 10 pagi. Inget, pake baju bagus ya.. Nih, uang muka kalian, kalo kalian bisa bagus akting yaoi-nya, kalian dapet gaji ekstra.” Master menyerahkan amplop coklat ke mereka. “Makasih Master, kami pamit.” Dan mereka pergi meninggalkan kantor.

Mereka berjalan lesu turun ke lantai dasar. “Malang amat nasib kita.” Gakupo mengeluh di dalam lift. “Iya ya Po, kapan yaa kita dapet rejeki?” Kaito juga mengeluh. “Kamu habis dari sini langsung pulang?” Gakupo bertanya. “Nggak aku ke apotik bentar, kamu mau ke RS?” tanya Kaito. “Iya.” Gakupo mengangguk.

Setelah sampai lobby, mereka berjalan ke jalan raya. “Po cepet sembuh ya Kagura.” Kaito berteriak ke Gakupo yang sudah menyeberang jalan ke halte bus. “Iya To, ibumu juga.” Gakupo berteriak. Kaito berjalan ke apotik lalu naik bus kea rah rumahnya. Setelah sampai rumah Kaito langsung memberi ibunya obat dan tidur. Sesampainya di RS Gakupo membayar biaya dan menemani Kagura menjahit kakinya.. Besok, mereka siap bermaho demi keluarga!!


NB: Maaf yaa semua kalo cerita ini kesannya ngejelek-jelekkin Kaito Gakupo. Tapi nggak kok, aku juga suka Kaito. Ini fiktif belaka, nggak ada kaitannya sama cerita asli Vocaloid. Tapi, mudah-mudahan kalian terhibur. Makasih yaa udah baca! J XD

Copyright © 2012 Vocaloid Daily Story | Len Kagamine Theme Designed by Rine