"Aduuh ya ampun.." Miku terbangun dan memegangi kepalanya. Ia pusing sekali. Semalaman ia menangis dan sepertinya ini sudah jam.. Entahlah. Mungkin jam makan siang sudah lewat. Di sebelahnya Rin berbaring tidur dengan mata yang masih sembap. Maklum, kemarin malam ia dan yang lain menangis histeris tentang kehilangan Len. Mereka sudah merasa tidak sanggup jika harus kehilangan satu orang lagi. Dari tujuh menjadi empat sudah cukup parah baginya.
Miku melihat sekeliling. Ia merasa ada yang aneh. Ada yang hilang. Apa ya? Koper-koper masih lengkap, jendela suite belum dibuka, Luka ada, Rin ada, Len?? Oya.. Len jatuh dari kapal tadi malam. Kaito?? Hilang 5 bulan lalu. Gakupo? Bersama Kaito. Siapa lagi ya? Tadi malam ia tidur di sebelah Rin. Dan Luka di sebelah Meiko. Oya! Meiko!! Meiko dimana?? Miku celingukan. Dan ia sadar, tas darurat Meiko, tas kecil yang selalu ia bawa kemana-mana, hilang. Miku panik. Ia turun dari kasur dan pelan-pelan membangunkan Luka.
"Luka.. Kak Lukaaaa!!" bisik Miku sambil mengguncang-guncangkannya.
"Hah? Kenapa Miku?" Luka langsung bangun.
"Kak Meiko.. Kak Meiko ilang kak.." Miku menjelaskan. "Dia nggak ada di kamar."
"Lagi di kamar mandi kali." kata Luka, masih sangat mengantuk.
"Lampunya mati Kak Luka.. Kak Meiko nggak ada." jawab Miku panik. "Aduuh.. Kak Meiko kemanaaa??"
"Masa' iya?" Luka turun dari tempat tidur. Dengan sempoyongan ia berjalan keliling suite, membuka lemari pakaian, membuka pintu kamar mandi, mengecek kelengkapan koper dan tas, bahkan membuka jendela suite. Tapi Meiko tak ada di sana. Luka terdiam di tengah ruangan, kemana Meiko? Tak mungkin Meiko meninggalkan mereka hanya untuk sarapan atau hanya untuk keluar kapal, itu bukan kebiasaan Meiko. Atau.. Jangan-jangan..
Miku membangunkan Rin. "Rin.. Rin.." Miku menepuk lengannya pelan.
"Hmmm.." Rin membuka matanya.
"Bangun Rin.." Miku mendesaknya.
"Kenapa sih kak??" Rin bertanya, ia duduk dan mengusap-usap matanya. "Tante Luka kenapa?" Setelah celingukan, Rin heran melihat Luka membeku dan pucat di tengah ruangan.
Luka menengok pelan-pelan ke arah Rin. Mukanya horor -_- Seolah-olah dia baru saja melihat hantu. Tiba-tiba Luka mencari lebih teliti di sekeliling ruangan. Ia membuka dan menutup laci-laci semua lemari di suite itu, lalu, masuk ke kamar mandi. Membuka shower curtain, lalu menengok ke wastafel. Wastafel!
Di dalam wastafel, Meiko meninggalkan sepucuk surat. Luka mengambilnya dengan gemetar. Beberapa detik kemudian, Rin dan Miku sudah berdiri di sampingnya, dan mereka bersama-sama membaca surat itu.
Aku pergi nyari Kaito, Gakupo, dan Len. Kumohon kalian jangan kemana-mana, tetaplah di cruise. Jangan coba ikutin aku, jangan pernah turun dari kapal. Aku nggak mau kita terpencar. Mudah-mudahan mereka masih hidup, aku udah ijin sama Nahkoda Oliver. Aku yakin dia pasti ngasih izin dan ngasih sarana. Siapa sih yang bisa nolak permintaanku? Tenang aja. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Cruise kita berhenti di Maladewa kan? Kutemui kalian di sana.
Jaga diri baik-baik yaa :D
"Woohoooo!!" Meiko berteriak di atas speedboat. Ia dan Valshe sudah berada di speedboat. Yang melaju cepat di laut lepas. Percikan air sudah setengah membasahi Meiko dan Valshe, dan Valshe dengan sembrono membelok-belokkan speedboat, padahal mereka tidak punya pengaman apa-apa selain pelampung. Dasar cewek-cewek pemberani dan tomboy!
"Asik kan Meiko!! Tunggu! Kamu belom ngerasain ini!!" Valshe mengencangkan speedboat dan mereka melaju turbo speed dan berakhir berputar-putar di laut membentuk pusaran air.
"HAHAHAHAHAHA!!" Meiko tertawa lepas. Mereka ini bagaimana? -_- "Udah udah Valshe. Aku nggak mau mati dulu. Jangan nantang maut. Aku masih harus nyelamatin keluargaku!!" serunya.
"Hahaha iya maaf Meiko. Udah lama aku nggak gila-gilaan di speedboat." Valshe tersenyum dan memelankan speedboat.
"Where did you get this thing?? It's awesome.." Meiko memuji-muji perahu yang sedang dinaikinya itu.
"Haha. Aku dapet ini dari perusahaan Kiyoteru Inc. Kamu tau? Perusahaan yang kerjaannya bikin alat-alat canggih." Valshe menjelaskan, mengelus-elus pinggiran speedboat. "Aku kan kerja di semacam tim yang nyari orang ilang, timku kerja sama sama perusahaan Pak Kiyoteru, jadi semua anggota dapet ini. Ini desain tercanggih abad ini."
"Oooo iya. Aku tau perusahaan itu. Dia juga yang bikin voice synthesizer buat Vocaloid. Makanya suara kami kayak komputer semua." Meiko tersenyum.
Okay.. Sebagai penjelasan. Dalam beberapa detik mereka sudah menjadi sahabat baik. Maklum, mereka adalah cewek-cewek tomboy yang kebetulan paling suka nekat-nekatan. Tapi nggak kesampean. Jadi sekalinya ketemu.. Begini deh..
"Oke.. Jadi, kita mau mulai pencarian dimana?" tanya Meiko.
"Yang jelas di pulau-pulau kecil di sekitar sini. Kadang aku bingung, di pulau-pulau sekitar sini banyak binatang yang.. Nggak semestinya di situ." Valshe mengangkat sebelah bahu.
"Misalnya?" Meiko penasaran.
"Hmmm.. Entahlah.. Aku pernah liat macan kumbang, gorila dan serigala di satu pulau. Kalo dipikir-pikir, agak nggak nyambung kan?" jelasnya.
"Entahlah.. Aku bukan zoolog. Hahaha." Meiko tertawa.
"Kamu bawa apa aja di tas?" Valshe melirik tas Meiko.
"Hmmm.." Meiko membuka risletingnya. "Dompet, baju 1 pasang, dan entah kenapa aku bawa tongkat baseball di sini -_- Terus.. Tongkat golf lipat. Oya.. Aku bawa teropong. Dan, surprisingly tali." Meiko terkejut melihat seisi tasnya.
"Kamu kayak udah siap ekspedisi aja." Valshe tersenyum miring. "Tongkat golf lipat? Tongkat baseball?"
"Aku juga bingung kenapa aku bisa kepikir bawa tongkat baseball sebelum liburan. Tapi, yang jelas di cruise kan ada minigolf." jawab Meiko. "Intinya, aku ngambil segala yang bisa dijadiin senjata."
"Bagus lah.. Persiapanmu mateng. Soalnya aku cuma bawa pisau lipet, kompas sama beberapa kait." Valshe menepuk-nepuk tas pinggangnya.
"Yaah.. Mudah-mudahan cukup." Meiko mengangguk pelan. Speedboat berhenti, sekarang mereka sampai di satu titik dimana mereka bisa melihat titik-titik pulau kecil di kejauhan. Kira-kira ada 5 pulau yang tersebar. Meiko mengeluarkan teropong. "Jadi, kita mulai dari mana?" Ia memberikan teropong itu pada Valshe.
Valshe memosisikan lubang teropong di depan matanya. Mengamati satu pulau dengan yang lainnya. "Kita mulai dari pulau itu?" Ia menunjuk salah satu pulau di arah barat laut, menyerahkan teropong pada Meiko.
"Oke." Meiko mengangguk-angguk, dan mengintip di teropong. Pulau itu terlihat penuh hutan, dan ada sesuatu yang terlihat lebih tinggi di tengah pulau, mungkin pohon raksasa. "Kenapa mulai dari situ?"
"Firasat." Valshe tersenyum.
Meiko menatapnya dengan tatapan 'oya?'.
"Ahahaha nggak bercanda.." Valshe tertawa. "Tadi kan kita berlayar dari barat ke timur. Jadi kemungkinan paling besarnya ya di pulau situ. Karena biasanya arus di perairan sini ke arah utara."
Meiko melirik Valshe, terkejut atas kemampuannya. Dan Valshe hanya tersenyum. "Tapi kalo nggak ada di situ, pulau lain?" tanya Meiko.
"Iya." jawab Valshe. "Tenang.. Persediaan bensin kita banyak, plus kapal ini dirancang biar super irit bensin."
Lalu mereka melaju ke pulau itu. Nah.. Apa menurutmu pulau itu tempat Kaito, Len dan Gakupo terdampar?
-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-
Miku membangunkan Rin. "Rin.. Rin.." Miku menepuk lengannya pelan.
"Hmmm.." Rin membuka matanya.
"Bangun Rin.." Miku mendesaknya.
"Kenapa sih kak??" Rin bertanya, ia duduk dan mengusap-usap matanya. "Tante Luka kenapa?" Setelah celingukan, Rin heran melihat Luka membeku dan pucat di tengah ruangan.
Luka menengok pelan-pelan ke arah Rin. Mukanya horor -_- Seolah-olah dia baru saja melihat hantu. Tiba-tiba Luka mencari lebih teliti di sekeliling ruangan. Ia membuka dan menutup laci-laci semua lemari di suite itu, lalu, masuk ke kamar mandi. Membuka shower curtain, lalu menengok ke wastafel. Wastafel!
Di dalam wastafel, Meiko meninggalkan sepucuk surat. Luka mengambilnya dengan gemetar. Beberapa detik kemudian, Rin dan Miku sudah berdiri di sampingnya, dan mereka bersama-sama membaca surat itu.
Aku pergi nyari Kaito, Gakupo, dan Len. Kumohon kalian jangan kemana-mana, tetaplah di cruise. Jangan coba ikutin aku, jangan pernah turun dari kapal. Aku nggak mau kita terpencar. Mudah-mudahan mereka masih hidup, aku udah ijin sama Nahkoda Oliver. Aku yakin dia pasti ngasih izin dan ngasih sarana. Siapa sih yang bisa nolak permintaanku? Tenang aja. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Cruise kita berhenti di Maladewa kan? Kutemui kalian di sana.
Jaga diri baik-baik yaa :D
Meiko
Miku, Luka dan Rin hanya terdiam memelototi surat itu. Tidak percaya apa yang baru saja mereka baca. Lalu Luka menengok ke arah jendela..
"Hati-hati, Meiko."
-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-
"Woohoooo!!" Meiko berteriak di atas speedboat. Ia dan Valshe sudah berada di speedboat. Yang melaju cepat di laut lepas. Percikan air sudah setengah membasahi Meiko dan Valshe, dan Valshe dengan sembrono membelok-belokkan speedboat, padahal mereka tidak punya pengaman apa-apa selain pelampung. Dasar cewek-cewek pemberani dan tomboy!
"Asik kan Meiko!! Tunggu! Kamu belom ngerasain ini!!" Valshe mengencangkan speedboat dan mereka melaju turbo speed dan berakhir berputar-putar di laut membentuk pusaran air.
"HAHAHAHAHAHA!!" Meiko tertawa lepas. Mereka ini bagaimana? -_- "Udah udah Valshe. Aku nggak mau mati dulu. Jangan nantang maut. Aku masih harus nyelamatin keluargaku!!" serunya.
"Hahaha iya maaf Meiko. Udah lama aku nggak gila-gilaan di speedboat." Valshe tersenyum dan memelankan speedboat.
"Where did you get this thing?? It's awesome.." Meiko memuji-muji perahu yang sedang dinaikinya itu.
"Haha. Aku dapet ini dari perusahaan Kiyoteru Inc. Kamu tau? Perusahaan yang kerjaannya bikin alat-alat canggih." Valshe menjelaskan, mengelus-elus pinggiran speedboat. "Aku kan kerja di semacam tim yang nyari orang ilang, timku kerja sama sama perusahaan Pak Kiyoteru, jadi semua anggota dapet ini. Ini desain tercanggih abad ini."
"Oooo iya. Aku tau perusahaan itu. Dia juga yang bikin voice synthesizer buat Vocaloid. Makanya suara kami kayak komputer semua." Meiko tersenyum.
Okay.. Sebagai penjelasan. Dalam beberapa detik mereka sudah menjadi sahabat baik. Maklum, mereka adalah cewek-cewek tomboy yang kebetulan paling suka nekat-nekatan. Tapi nggak kesampean. Jadi sekalinya ketemu.. Begini deh..
"Oke.. Jadi, kita mau mulai pencarian dimana?" tanya Meiko.
"Yang jelas di pulau-pulau kecil di sekitar sini. Kadang aku bingung, di pulau-pulau sekitar sini banyak binatang yang.. Nggak semestinya di situ." Valshe mengangkat sebelah bahu.
"Misalnya?" Meiko penasaran.
"Hmmm.. Entahlah.. Aku pernah liat macan kumbang, gorila dan serigala di satu pulau. Kalo dipikir-pikir, agak nggak nyambung kan?" jelasnya.
"Entahlah.. Aku bukan zoolog. Hahaha." Meiko tertawa.
"Kamu bawa apa aja di tas?" Valshe melirik tas Meiko.
"Hmmm.." Meiko membuka risletingnya. "Dompet, baju 1 pasang, dan entah kenapa aku bawa tongkat baseball di sini -_- Terus.. Tongkat golf lipat. Oya.. Aku bawa teropong. Dan, surprisingly tali." Meiko terkejut melihat seisi tasnya.
"Kamu kayak udah siap ekspedisi aja." Valshe tersenyum miring. "Tongkat golf lipat? Tongkat baseball?"
"Aku juga bingung kenapa aku bisa kepikir bawa tongkat baseball sebelum liburan. Tapi, yang jelas di cruise kan ada minigolf." jawab Meiko. "Intinya, aku ngambil segala yang bisa dijadiin senjata."
"Bagus lah.. Persiapanmu mateng. Soalnya aku cuma bawa pisau lipet, kompas sama beberapa kait." Valshe menepuk-nepuk tas pinggangnya.
"Yaah.. Mudah-mudahan cukup." Meiko mengangguk pelan. Speedboat berhenti, sekarang mereka sampai di satu titik dimana mereka bisa melihat titik-titik pulau kecil di kejauhan. Kira-kira ada 5 pulau yang tersebar. Meiko mengeluarkan teropong. "Jadi, kita mulai dari mana?" Ia memberikan teropong itu pada Valshe.
Valshe memosisikan lubang teropong di depan matanya. Mengamati satu pulau dengan yang lainnya. "Kita mulai dari pulau itu?" Ia menunjuk salah satu pulau di arah barat laut, menyerahkan teropong pada Meiko.
"Oke." Meiko mengangguk-angguk, dan mengintip di teropong. Pulau itu terlihat penuh hutan, dan ada sesuatu yang terlihat lebih tinggi di tengah pulau, mungkin pohon raksasa. "Kenapa mulai dari situ?"
"Firasat." Valshe tersenyum.
Meiko menatapnya dengan tatapan 'oya?'.
"Ahahaha nggak bercanda.." Valshe tertawa. "Tadi kan kita berlayar dari barat ke timur. Jadi kemungkinan paling besarnya ya di pulau situ. Karena biasanya arus di perairan sini ke arah utara."
Meiko melirik Valshe, terkejut atas kemampuannya. Dan Valshe hanya tersenyum. "Tapi kalo nggak ada di situ, pulau lain?" tanya Meiko.
"Iya." jawab Valshe. "Tenang.. Persediaan bensin kita banyak, plus kapal ini dirancang biar super irit bensin."
Lalu mereka melaju ke pulau itu. Nah.. Apa menurutmu pulau itu tempat Kaito, Len dan Gakupo terdampar?
-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-
Gakupo sudah pulang dari perburuan, kira-kira tepat ketika matahari sepenuhnya tenggelam. Walaupun membawa tombak ketika berangkat, waktu pulang ternyata dia hanya membawa sesisir pisang dan 3 buah kelapa. Ia sudah kapok bakar-bakaran di waktu malam. Ketika ia dan Kaito pertama kali melakukannya, mereka berakhir dikejar-kejar macan kumbang dan terpaksa sembunyi di gua. Jadi mereka kapok. Untuk makan malam, sebaiknya makan buah saja.
"Kak.. Aku mau bantuin!!" sahut Len bersemangat ketika Kaito sedang membabat bagian atas buah kelapa.
"Jangan!!" Gakupo melarang dengan dramatis.
"Ah kamu ini lebay banget sih Po!" tegur Kaito. "Adekku ini udah besar. Dia juga bakal tinggal sama kita, dia harus belajar banyak."
"Adek?" Gakupo mengangkat alis.
"Iyaaaa.." teriak Kaito imut-imut. "Itu julukanku dan dia di apartemen tempat kita tinggal." Kaito mengumumkan sambil memeluk-meluk Len. Oke, sikap kekanak-kanakannya kambuh..
"Hei kak.. Nggak usah lebay gitu -_-" Len mendorong Kaito.
Gakupo menggelengkan kepala. Illfeel -_- Dulu waktu pertama kali kenal Kaito, atau pertama kali kenal Biru lebih tepatnya, Kaito kekanak-kanakan, suka meluk-meluk, ceroboh, payah lah. Sampai Gakupo memarahinya, barulah Kaito menghentikan sikapnya itu. Tapi semenjak ada Len.. Tidaaak!!
"Ini udah gelap Kaito. Bahaya kalo baru pengalaman pertama dan Len langsung dikasih tugas mbabat kelapa. Mending kamu ngambil air Len." Ia menunjuk jendela berkatrol. Lalu Gakupo bersantai di jendela barat.
"Om Upo overprotektif ya.." bisik Len. Kaito hanya menggeleng mengisyaratkan agar Len diam.
Setelah semua selesai mereka makan. Masing-masing sesisir pisang dan 1 kelapa. Mereka makan dalam diam, dan setelah mereka selesai, tak terasa hari sudah cukup malam. Bulan purnama memendarkan cahaya lembutnya di langit.
Kresek kresek.. Terdengar suara daun bergemerisik. Len spontan langsung menengok ke jendela selatan. Dimana masih terlihat daun-daun di cabang pohon yang besar. Dan.. Dan..
"K.. Kak Kaito.." Len berbisik, gemetar.
"Apa Len?" tanya Kaito.
Gakupo berdiri dan dengan sigap mengambil tombaknya. Mengarahkannya keluar jendela.
"Raurrgh.." seekor macan kumbang meloncat masuk jendela.
"Aaa!!" Len berteriak kaget.
"Kaito!! Kasih Len senjata!!" Gakupo berteriak, sambil memerangi macan kumbang itu. Macan kumbang itu berdiri di dua kakinya dan berusaha menerjang Gakupo yang mendorongnya mati-matian ke depan dengan memegang tombak secara horizontal di tangannya.
"Len!" Kaito mengambil tombak dan melemparnya ke arah Len. Len menangkapnya dengan sigap.
Gakupo berhasil melempar macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu pantang menyerah. Setelah berguling-guling di lantai kayu, ia langsung berdiri lagi dan menggeram ke arah mereka. Len dengan berani mengacungkan tombaknya ke macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu menamparnya sampai patah.
"Len! Jangan lakuin itu lagi!!" teriak Kaito. Berdiri di depannya, menakut-nakuti macan kumbang itu dengan menyentak-nyentakkan tombaknya ke depan. "Kamu turun sekarang! Turun!!"
"A, apa.. Aku nggak bisa bantu?"
"Len! Kamu harus turun.. Lari, selamatkan diri." Gakupo menyeret Len dan mendorongnya ke pintu keluar.
"Tapi aku mau bantu.." Len ngotot. Masuk lagi ke ruangan.
"Len jangan!!" Kaito berteriak. Macan kumbang itu tiba-tiba menerpa Len dan menerkamnya. Berusaha mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Len mendorongnya ke atas dengan sekuat tenaga. Sampai macan kumbang itu mencakarnya di dadanya. "Ah!" Len kesakitan, tapi mencoba menahannya. Dan sebagai penyelamat Kaito mendorong macan itu ke samping.
Len berguling-guling dengan ke arah dapur, mengambil pisau sebanyak mungkin, lalu berdiri sambil memegangi dadanya yang berdarah. Kaito dan Gakupo sedang memerangi macan kumbang itu dari samping kanan dan kiri, berputar dalam bentuk lingkaran untuk mengawasi kemana serangan selanjutnya. Len ngos-ngosan, menentukan targetnya dan bersiap melempar salah satu pisau untuk mengenainya.
Oke.. Jangan sampai kena Kak Kaito dan Om Gakupo. Ia berdoa dalam hati. Ia membidik bagian samping macan kumbang itu, berharap pisau itu akan menembus ke organ dalam lewat sela-sela tulang rusuknya. Ia menarik napas, dan melemparnya.
Pisau itu menerjang udara dengan cepat, hampir mengenai Gakupo yang dengan sigap menghindarinya. Tapi macan kumbang itu lebih tajam penglihatannya, ia menunduk dan pisau itu hanya menggores punggungnya. Macan kumbang itu memandang Len, dengan murka dan balas dendam, seolah-olah Len adalah target utama dan akan menjadi makan malamnya hari ini. Len melempar salah satu pisau ke arah moncong macan tutul itu, dan pisau itu mengenai matanya. "RAAAAAURGH!!" Macan kumbang itu meraung dengan keras, menjatuhkan pisau itu yang tidak menancap terlalu dalam. Dengan membabi buta macan kumbang itu berlari ke arah Len, meloncat dan menerkamnya sambil meraung. Tapi tepat waktu, Gakupo berdiri di depan Len dan mendorong Len kencang ke belakang ke arah jendela utara, dan Len, yang kehilangan keseimbangan, jatuh..
Setelah semua selesai mereka makan. Masing-masing sesisir pisang dan 1 kelapa. Mereka makan dalam diam, dan setelah mereka selesai, tak terasa hari sudah cukup malam. Bulan purnama memendarkan cahaya lembutnya di langit.
Kresek kresek.. Terdengar suara daun bergemerisik. Len spontan langsung menengok ke jendela selatan. Dimana masih terlihat daun-daun di cabang pohon yang besar. Dan.. Dan..
"K.. Kak Kaito.." Len berbisik, gemetar.
"Apa Len?" tanya Kaito.
Gakupo berdiri dan dengan sigap mengambil tombaknya. Mengarahkannya keluar jendela.
"Raurrgh.." seekor macan kumbang meloncat masuk jendela.
"Aaa!!" Len berteriak kaget.
"Kaito!! Kasih Len senjata!!" Gakupo berteriak, sambil memerangi macan kumbang itu. Macan kumbang itu berdiri di dua kakinya dan berusaha menerjang Gakupo yang mendorongnya mati-matian ke depan dengan memegang tombak secara horizontal di tangannya.
"Len!" Kaito mengambil tombak dan melemparnya ke arah Len. Len menangkapnya dengan sigap.
Gakupo berhasil melempar macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu pantang menyerah. Setelah berguling-guling di lantai kayu, ia langsung berdiri lagi dan menggeram ke arah mereka. Len dengan berani mengacungkan tombaknya ke macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu menamparnya sampai patah.
"Len! Jangan lakuin itu lagi!!" teriak Kaito. Berdiri di depannya, menakut-nakuti macan kumbang itu dengan menyentak-nyentakkan tombaknya ke depan. "Kamu turun sekarang! Turun!!"
"A, apa.. Aku nggak bisa bantu?"
"Len! Kamu harus turun.. Lari, selamatkan diri." Gakupo menyeret Len dan mendorongnya ke pintu keluar.
"Tapi aku mau bantu.." Len ngotot. Masuk lagi ke ruangan.
"Len jangan!!" Kaito berteriak. Macan kumbang itu tiba-tiba menerpa Len dan menerkamnya. Berusaha mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Len mendorongnya ke atas dengan sekuat tenaga. Sampai macan kumbang itu mencakarnya di dadanya. "Ah!" Len kesakitan, tapi mencoba menahannya. Dan sebagai penyelamat Kaito mendorong macan itu ke samping.
Len berguling-guling dengan ke arah dapur, mengambil pisau sebanyak mungkin, lalu berdiri sambil memegangi dadanya yang berdarah. Kaito dan Gakupo sedang memerangi macan kumbang itu dari samping kanan dan kiri, berputar dalam bentuk lingkaran untuk mengawasi kemana serangan selanjutnya. Len ngos-ngosan, menentukan targetnya dan bersiap melempar salah satu pisau untuk mengenainya.
Oke.. Jangan sampai kena Kak Kaito dan Om Gakupo. Ia berdoa dalam hati. Ia membidik bagian samping macan kumbang itu, berharap pisau itu akan menembus ke organ dalam lewat sela-sela tulang rusuknya. Ia menarik napas, dan melemparnya.
Pisau itu menerjang udara dengan cepat, hampir mengenai Gakupo yang dengan sigap menghindarinya. Tapi macan kumbang itu lebih tajam penglihatannya, ia menunduk dan pisau itu hanya menggores punggungnya. Macan kumbang itu memandang Len, dengan murka dan balas dendam, seolah-olah Len adalah target utama dan akan menjadi makan malamnya hari ini. Len melempar salah satu pisau ke arah moncong macan tutul itu, dan pisau itu mengenai matanya. "RAAAAAURGH!!" Macan kumbang itu meraung dengan keras, menjatuhkan pisau itu yang tidak menancap terlalu dalam. Dengan membabi buta macan kumbang itu berlari ke arah Len, meloncat dan menerkamnya sambil meraung. Tapi tepat waktu, Gakupo berdiri di depan Len dan mendorong Len kencang ke belakang ke arah jendela utara, dan Len, yang kehilangan keseimbangan, jatuh..
-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-
Meiko dan Valshe tiba di pulau tujuan mereka. Meiko mengambil teropong, dan mengarahkannya ke arah pohon besar di tengah pulau. Tepat ketika ia melihat titik kecil yang kuning-putih terjatuh ke bawah, dan setelah diarahkannya ke samping, ia melihat rumah pohon besar. Meiko terkejut. "Valshe! Valshe! Ini pulaunya!!"
Valshe, yang sedang memarkir speedboat dan mendorongnya ke arah pepohonan, hanya berkata. "Dari mana kamu tau?" tanyanya santai.
"Ini!!" Meiko berlari dan memberikan teropongnya kepada Valshe, lalu menariknya ke tempat tadi ia berdiri. "Itu!! Pohon gede!" Meiko menunjuk. "Ada rumah pohonnya! Kita harus ke sana!"
Valshe mengarahkan teropong ke arah yang ditunjuk Meiko. Dan tersentak. "Mereka lagi diserang!"
"Apa??! Diserang? Yang bener aja She." Meiko merebut teropong itu dan memosisikan di depan matanya. Ia melihat titik biru dan ungu dan titik hitam. "Oya!! Ya ampun.."
"Apa??! Diserang? Yang bener aja She." Meiko merebut teropong itu dan memosisikan di depan matanya. Ia melihat titik biru dan ungu dan titik hitam. "Oya!! Ya ampun.."
Tiba-tiba.. "Auuuuuuuuu!" terdengar suara serigala.
"Oke, ini.. Buruk." kata Valshe.
"Oke, ini.. Buruk." kata Valshe.
-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-
"Aaaaaaa.." Len terjatuh. Dia mengira dia akan mati, terjatuh melayang-layang di udara dan melihat puncak pohon terlihat semakin jauh di atas. Rambutnya terbang-terbang, badannya bergesekan dengan udara, segalanya terasa slow motion, intinya, dia yakin hari itu adalah hari kematiannya. Tapi tiba-tiba, BRUK!! Len terjatuh di cabang pohon kecil, cabang pohon itu mulai patah, yaa.. Menerima tekanan seperti itu. Tapi sebelum membiarkan dirinya terjatuh untuk kedua kalinya, Len menjatuhkan 3 dari 5 pisau yang dibawanya, memegang dua pisau di dua tangannya, dan menancapkannya dalam-dalam pada batang pohon baobab besar tersebut, membiarkan cabang yang tadi menahannya jatuh ke bawah.
"I'm alive!!!" teriaknya, bergelantungan di tengah-tengah pohon, ternyata ia sudah setengah jalan jatuh ke bawah. Dia melihat ke bawah, tinggiiii.. "Ehh.. Okay.." katanya menelan ludah. "Harus.. hati-hati.." Ia mencoba turun sambil mencari pijakan.
Sementara itu..
"Gakupo!! Kenapa Len didorong??" Kaito mengomelinya, berbicara tanpa mengalihkan perhatian dari macan kumbang.
"Biar dia keluar." Gakupo menjawab singkat, maju menyerang macan kumbang, dalam hal ini ia memang lebih agresif dari Kaito.
"Len bisa mati!!" Kaito berteriak frustrasi.
"I'm alive!!!" terdengar teriakan Len dari bawah.
"Nggak tuh." Gakupo tersenyum, sementara di depan mukanya si macan kumbang terus mendorong dan mencoba menerkam lehernya.
Kaito kicep. "Okay let's finish this." Ia mengamati Gakupo dan macan kumbang itu. "Gakupo.. Kita lakuin yang pernah kita lakuin dulu." katanya.
"Maksudmu.. Itu??"
"Iyaaa!!" Kaito mengambil posisi, ia mundur beberapa langkah. Gakupo pun mendorong macan kumbang itu dan mementalkannya, kemudian mundur beberapa langkah. Sampai posisi mereka seperti garis lurus, masing-masing di pinggir ruangan, dengan si macan kumbang di tengah. Si macan kumbang kebingungan, bergantian menengok ke arah Kairo, Gakupo, Kaito, Gakupo. Memutuskan yang mana yang lebih lemah dan mudah dimangsa, akhirnya, ia memilih Kaito. Ia berlari, terus berlari dan meloncat dengan posisi menerkam, di belakangnya Gakupo berlari kencang. Ketika macan kumbang ingin menerkam, Kaito mengarahkan tombaknya ke atas, dan Gakupo menghunuskan tombaknya ke bawah, dan.. Clep!! Macan kumbang itu terjatuh ke lantai dengan bunyi bruk!!
"Yess!" Kaito dan Gakupo tos di udara, lalu mengambil tombak mereka yang dilumuri darah macan kumbang. "Kita bersihin nanti, sekarang.. Len.." Gakupo berjalan ke jendela utara, memandang ke bawah. "Len!!" panggilnya.
Tak ada jawaban, mungkin Len sudah sampai di bawah. Gakupo pun mengikuti Kaito yang sudah mulai menuruni tangga.
"Kak Kaito!! Om Upo!!" Len, yang sudah sampai di bawah duluan, menyambut mereka di dasar tangga, membawa kelima pisau yang dipungutnya dari rumah pohon. "Sudah mati kah dia?"
"Beres Leeen!!" Kaito turun dan lari memeluk Len. -_-
"Aaah Kak Kaito ini lebay banget sih -_- Aku nggak papa kok." kata Len, mendorongnya pelan.
Gakupo menggelengkan kepala. Lalu melihat sekeliling. "Kaito, Len, awas!!" Gakupo berteriak.
Len dan Kaito mundur, di belakang mereka, sekawanan serigala menggeram dan mendekati mereka, menggigit-gigit di udara dan menjatuhkan air liur, kira-kira jumlahnya 12.
"Apa lagi ini??" kata Gakupo. "Semuanya, naik lagi ke rumah pohon!!"
Kaito dan Len berlari ke tangga. Mereka naik, Gakupo, Len lalu Kaito. Baru beberapa kali naik, "Aaaau!!" Kaito menjerit, salah satu serigala menggigit kakinya. "Len!! Upo!!" Tolooong!!" teriaknya. Kaito menarik kaki Len, lalu Len menarik kaki Gakupo, lalu tangga untuk naik ke atas tersebut patah. Mereka terjatuh. Bruk!!
Ketika jatuh, tangga tali itu membelit-belit mereka, dan para serigala langsung menyerbu mereka.
"Aaaaa.." Mau tak mau mereka berteriak menerima serbuan para serigala tersebut. Tapi Len dengan sigap menggunakan pisaunya untuk memotong sulur-sulur tangga agar mereka bisa melepas, lalu Gakupo dan Kaito mendorong para serigala itu ke depan.
Kaki kanan Kaito berdarah-darah. Dengan sedikit terpincang-pincang ia maju lalu mengarahkan tombaknya pada para serigala tersebut. Len pun mengacungkan pisau terbesar yang ia punya ke arah serigala. Dan Gakupo, yang belum terluka, mengambil beberapa pisau dari Len dan hanya mengatakan. "Lari.."
Gakupo, Len dan Kaito berlari. Len memegangi dadanya dan Gakupo membantu Kaito berlari karena ternyata gigitannya cukup parah. Para serigala mengikuti mereka, berlari dan menggigit-gigit di udara. Mengepung mereka dari segala arah, sampai mereka akhirnya sampai di suatu tanah lapang yang mirip sabana.
Kaito dan Len makin tidak mengerti mengapa Gakupo membimbing mereka ke sini, tapi itu sebenarnya ide bagus karena mereka tak bisa melihat apa-apa di tengah hutan, disebabkan kanopi dedaunan jauh di atas mereka. Apalagi serigala-serigala bisa sembunyi di balik pohon-pohon lalu menerkam mereka dari belakang. Sekarang, walaupun mereka terlihat seperti sasaran empuk, setidaknya sekarang ada 3 pasang mata yang bisa mengawasi dari segala arah.
Serigala-serigala itu mengepung mereka. Gigi-gigi mereka yang tajam dan air liur mereka yang menetes-netes menambah kesan mengerikan pada penampakan mereka. Sementara mereka merapatkan diri mengelilingi ketiga Vocaloid tersebut, mereka semua berdiri membelakangi masing-masing dan Gakupo berbisik.. "Kalo kita mati hari ini, seenggaknya kita mati bersama."
"Seraaang!!" teriak Kaito.
To be continued..
Ketika jatuh, tangga tali itu membelit-belit mereka, dan para serigala langsung menyerbu mereka.
"Aaaaa.." Mau tak mau mereka berteriak menerima serbuan para serigala tersebut. Tapi Len dengan sigap menggunakan pisaunya untuk memotong sulur-sulur tangga agar mereka bisa melepas, lalu Gakupo dan Kaito mendorong para serigala itu ke depan.
Kaki kanan Kaito berdarah-darah. Dengan sedikit terpincang-pincang ia maju lalu mengarahkan tombaknya pada para serigala tersebut. Len pun mengacungkan pisau terbesar yang ia punya ke arah serigala. Dan Gakupo, yang belum terluka, mengambil beberapa pisau dari Len dan hanya mengatakan. "Lari.."
Gakupo, Len dan Kaito berlari. Len memegangi dadanya dan Gakupo membantu Kaito berlari karena ternyata gigitannya cukup parah. Para serigala mengikuti mereka, berlari dan menggigit-gigit di udara. Mengepung mereka dari segala arah, sampai mereka akhirnya sampai di suatu tanah lapang yang mirip sabana.
Kaito dan Len makin tidak mengerti mengapa Gakupo membimbing mereka ke sini, tapi itu sebenarnya ide bagus karena mereka tak bisa melihat apa-apa di tengah hutan, disebabkan kanopi dedaunan jauh di atas mereka. Apalagi serigala-serigala bisa sembunyi di balik pohon-pohon lalu menerkam mereka dari belakang. Sekarang, walaupun mereka terlihat seperti sasaran empuk, setidaknya sekarang ada 3 pasang mata yang bisa mengawasi dari segala arah.
Serigala-serigala itu mengepung mereka. Gigi-gigi mereka yang tajam dan air liur mereka yang menetes-netes menambah kesan mengerikan pada penampakan mereka. Sementara mereka merapatkan diri mengelilingi ketiga Vocaloid tersebut, mereka semua berdiri membelakangi masing-masing dan Gakupo berbisik.. "Kalo kita mati hari ini, seenggaknya kita mati bersama."
"Seraaang!!" teriak Kaito.
To be continued..