Terjebak di Pulau (part 3)

Posted by :

Unknown

Date:

Jumat, 23 Mei 2014

0 komentar
"Aduuh ya ampun.." Miku terbangun dan memegangi kepalanya. Ia pusing sekali. Semalaman ia menangis dan sepertinya ini sudah jam.. Entahlah. Mungkin jam makan siang sudah lewat. Di sebelahnya Rin berbaring tidur dengan mata yang masih sembap. Maklum, kemarin malam ia dan yang lain menangis histeris tentang kehilangan Len. Mereka sudah merasa tidak sanggup jika harus kehilangan satu orang lagi. Dari tujuh menjadi empat sudah cukup parah baginya. 
Miku melihat sekeliling. Ia merasa ada yang aneh. Ada yang hilang. Apa ya? Koper-koper masih lengkap, jendela suite belum dibuka, Luka ada, Rin ada, Len?? Oya.. Len jatuh dari kapal tadi malam. Kaito?? Hilang 5 bulan lalu. Gakupo? Bersama Kaito. Siapa lagi ya? Tadi malam ia tidur di sebelah Rin. Dan Luka di sebelah Meiko. Oya! Meiko!! Meiko dimana?? Miku celingukan. Dan ia sadar, tas darurat Meiko, tas kecil yang selalu ia bawa kemana-mana, hilang. Miku panik. Ia turun dari kasur dan pelan-pelan membangunkan Luka.
"Luka.. Kak Lukaaaa!!" bisik Miku sambil mengguncang-guncangkannya.
"Hah? Kenapa Miku?" Luka langsung bangun.
"Kak Meiko.. Kak Meiko ilang kak.." Miku menjelaskan. "Dia nggak ada di kamar."
"Lagi di kamar mandi kali." kata Luka, masih sangat mengantuk.
"Lampunya mati Kak Luka.. Kak Meiko nggak ada." jawab Miku panik. "Aduuh.. Kak Meiko kemanaaa??"
"Masa' iya?" Luka turun dari tempat tidur. Dengan sempoyongan ia berjalan keliling suite, membuka lemari pakaian, membuka pintu kamar mandi, mengecek kelengkapan koper dan tas, bahkan membuka jendela suite. Tapi Meiko tak ada di sana. Luka terdiam di tengah ruangan, kemana Meiko? Tak mungkin Meiko meninggalkan mereka hanya untuk sarapan atau hanya untuk keluar kapal, itu bukan kebiasaan Meiko. Atau.. Jangan-jangan.. 
Miku membangunkan Rin. "Rin.. Rin.." Miku menepuk lengannya pelan.
"Hmmm.." Rin membuka matanya.
"Bangun Rin.." Miku mendesaknya.
"Kenapa sih kak??" Rin bertanya, ia duduk dan mengusap-usap matanya. "Tante Luka kenapa?" Setelah celingukan, Rin heran melihat Luka membeku dan pucat di tengah ruangan.
Luka menengok pelan-pelan ke arah Rin. Mukanya horor -_- Seolah-olah dia baru saja melihat hantu. Tiba-tiba Luka mencari lebih teliti di sekeliling ruangan. Ia membuka dan menutup laci-laci semua lemari di suite itu, lalu, masuk ke kamar mandi. Membuka shower curtain, lalu menengok ke wastafel. Wastafel!
Di dalam wastafel, Meiko meninggalkan sepucuk surat. Luka mengambilnya dengan gemetar. Beberapa detik kemudian, Rin dan Miku sudah berdiri di sampingnya, dan mereka bersama-sama membaca surat itu.

Aku pergi nyari Kaito, Gakupo, dan Len. Kumohon kalian jangan kemana-mana, tetaplah di cruise. Jangan coba ikutin aku, jangan pernah turun dari kapal. Aku nggak mau kita terpencar. Mudah-mudahan mereka masih hidup, aku udah ijin sama Nahkoda Oliver. Aku yakin dia pasti ngasih izin dan ngasih sarana. Siapa sih yang bisa nolak permintaanku? Tenang aja. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Cruise kita berhenti di Maladewa kan? Kutemui kalian di sana.

Jaga diri baik-baik yaa :D
Meiko

Miku, Luka dan Rin hanya terdiam memelototi surat itu. Tidak percaya apa yang baru saja mereka baca. Lalu Luka menengok ke arah jendela..
"Hati-hati, Meiko."

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

"Woohoooo!!" Meiko berteriak di atas speedboat. Ia dan Valshe sudah berada di speedboat. Yang melaju cepat di laut lepas. Percikan air sudah setengah membasahi Meiko dan Valshe, dan Valshe dengan sembrono membelok-belokkan speedboat, padahal mereka tidak punya pengaman apa-apa selain pelampung. Dasar cewek-cewek pemberani dan tomboy!
"Asik kan Meiko!! Tunggu! Kamu belom ngerasain ini!!" Valshe mengencangkan speedboat dan mereka melaju turbo speed dan berakhir berputar-putar di laut membentuk pusaran air.
"HAHAHAHAHAHA!!" Meiko tertawa lepas. Mereka ini bagaimana? -_- "Udah udah Valshe. Aku nggak mau mati dulu. Jangan nantang maut. Aku masih harus nyelamatin keluargaku!!" serunya.
"Hahaha iya maaf Meiko. Udah lama aku nggak gila-gilaan di speedboat." Valshe tersenyum dan memelankan speedboat.
"Where did you get this thing?? It's awesome.." Meiko memuji-muji perahu yang sedang dinaikinya itu.
"Haha. Aku dapet ini dari perusahaan Kiyoteru Inc. Kamu tau? Perusahaan yang kerjaannya bikin alat-alat canggih." Valshe menjelaskan, mengelus-elus pinggiran speedboat. "Aku kan kerja di semacam tim yang nyari orang ilang, timku kerja sama sama perusahaan Pak Kiyoteru, jadi semua anggota dapet ini. Ini desain tercanggih abad ini."
"Oooo iya. Aku tau perusahaan itu. Dia juga yang bikin voice synthesizer buat Vocaloid. Makanya suara kami kayak komputer semua." Meiko tersenyum.
Okay.. Sebagai penjelasan. Dalam beberapa detik mereka sudah menjadi sahabat baik. Maklum, mereka adalah cewek-cewek tomboy yang kebetulan paling suka nekat-nekatan. Tapi nggak kesampean. Jadi sekalinya ketemu.. Begini deh..
"Oke.. Jadi, kita mau mulai pencarian dimana?" tanya Meiko.
"Yang jelas di pulau-pulau kecil di sekitar sini. Kadang aku bingung, di pulau-pulau sekitar sini banyak binatang yang.. Nggak semestinya di situ." Valshe mengangkat sebelah bahu.
"Misalnya?" Meiko penasaran.
"Hmmm.. Entahlah.. Aku pernah liat macan kumbang, gorila dan serigala di satu pulau. Kalo dipikir-pikir, agak nggak nyambung kan?" jelasnya.
"Entahlah.. Aku bukan zoolog. Hahaha." Meiko tertawa.
"Kamu bawa apa aja di tas?" Valshe melirik tas Meiko.
"Hmmm.." Meiko membuka risletingnya. "Dompet, baju 1 pasang, dan entah kenapa aku bawa tongkat baseball di sini -_- Terus.. Tongkat golf lipat. Oya.. Aku bawa teropong. Dan, surprisingly tali." Meiko terkejut melihat seisi tasnya.
"Kamu kayak udah siap ekspedisi aja." Valshe tersenyum miring. "Tongkat golf lipat? Tongkat baseball?"
"Aku juga bingung kenapa aku bisa kepikir bawa tongkat baseball sebelum liburan. Tapi, yang jelas di cruise kan ada minigolf." jawab Meiko. "Intinya, aku ngambil segala yang bisa dijadiin senjata."
"Bagus lah.. Persiapanmu mateng. Soalnya aku cuma bawa pisau lipet, kompas sama beberapa kait." Valshe menepuk-nepuk tas pinggangnya.
"Yaah.. Mudah-mudahan cukup." Meiko mengangguk pelan. Speedboat berhenti, sekarang mereka sampai di satu titik dimana mereka bisa melihat titik-titik pulau kecil di kejauhan. Kira-kira ada 5 pulau yang tersebar. Meiko mengeluarkan teropong. "Jadi, kita mulai dari mana?" Ia memberikan teropong itu pada Valshe.
Valshe memosisikan lubang teropong di depan matanya. Mengamati satu pulau dengan yang lainnya. "Kita mulai dari pulau itu?" Ia menunjuk salah satu pulau di arah barat laut, menyerahkan teropong pada Meiko.
"Oke." Meiko mengangguk-angguk, dan mengintip di teropong. Pulau itu terlihat penuh hutan, dan ada sesuatu yang terlihat lebih tinggi di tengah pulau, mungkin pohon raksasa. "Kenapa mulai dari situ?"
"Firasat." Valshe tersenyum.
Meiko menatapnya dengan tatapan 'oya?'.
"Ahahaha nggak bercanda.." Valshe tertawa. "Tadi kan kita berlayar dari barat ke timur. Jadi kemungkinan paling besarnya ya di pulau situ. Karena biasanya arus di perairan sini ke arah utara."
Meiko melirik Valshe, terkejut atas kemampuannya. Dan Valshe hanya tersenyum. "Tapi kalo nggak ada di situ, pulau lain?" tanya Meiko.
"Iya." jawab Valshe. "Tenang.. Persediaan bensin kita banyak, plus kapal ini dirancang biar super irit bensin."
Lalu mereka melaju ke pulau itu. Nah.. Apa menurutmu pulau itu tempat Kaito, Len dan Gakupo terdampar?

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

Gakupo sudah pulang dari perburuan, kira-kira tepat ketika matahari sepenuhnya tenggelam. Walaupun membawa tombak ketika berangkat, waktu pulang ternyata dia hanya membawa sesisir pisang dan 3 buah kelapa. Ia sudah kapok bakar-bakaran di waktu malam. Ketika ia dan Kaito pertama kali melakukannya, mereka berakhir dikejar-kejar macan kumbang dan terpaksa sembunyi di gua. Jadi mereka kapok. Untuk makan malam, sebaiknya makan buah saja.
"Kak.. Aku mau bantuin!!" sahut Len bersemangat ketika Kaito sedang membabat bagian atas buah kelapa.
"Jangan!!" Gakupo melarang dengan dramatis.
"Ah kamu ini lebay banget sih Po!" tegur Kaito. "Adekku ini udah besar. Dia juga bakal tinggal sama kita, dia harus belajar banyak."
"Adek?" Gakupo mengangkat alis.
"Iyaaaa.." teriak Kaito imut-imut. "Itu julukanku dan dia di apartemen tempat kita tinggal." Kaito mengumumkan sambil memeluk-meluk Len. Oke, sikap kekanak-kanakannya kambuh..
"Hei kak.. Nggak usah lebay gitu -_-" Len mendorong Kaito.
Gakupo menggelengkan kepala. Illfeel -_- Dulu waktu pertama kali kenal Kaito, atau pertama kali kenal Biru lebih tepatnya, Kaito kekanak-kanakan, suka meluk-meluk, ceroboh, payah lah. Sampai Gakupo memarahinya, barulah Kaito menghentikan sikapnya itu. Tapi semenjak ada Len.. Tidaaak!!
"Ini udah gelap Kaito. Bahaya kalo baru pengalaman pertama dan Len langsung dikasih tugas mbabat kelapa. Mending kamu ngambil air Len." Ia menunjuk jendela berkatrol. Lalu Gakupo bersantai di jendela barat.
"Om Upo overprotektif ya.." bisik Len. Kaito hanya menggeleng mengisyaratkan agar Len diam.
Setelah semua selesai mereka makan. Masing-masing sesisir pisang dan 1 kelapa. Mereka makan dalam diam, dan setelah mereka selesai, tak terasa hari sudah cukup malam. Bulan purnama memendarkan cahaya lembutnya di langit.
Kresek kresek.. Terdengar suara daun bergemerisik. Len spontan langsung menengok ke jendela selatan. Dimana masih terlihat daun-daun di cabang pohon yang besar. Dan.. Dan..
"K.. Kak Kaito.." Len berbisik, gemetar.
"Apa Len?" tanya Kaito.
Gakupo berdiri dan dengan sigap mengambil tombaknya. Mengarahkannya keluar jendela.
"Raurrgh.." seekor macan kumbang meloncat masuk jendela.
"Aaa!!" Len berteriak kaget.
"Kaito!! Kasih Len senjata!!" Gakupo berteriak, sambil memerangi macan kumbang itu. Macan kumbang itu berdiri di dua kakinya dan berusaha menerjang Gakupo yang mendorongnya mati-matian ke depan dengan memegang tombak secara horizontal di tangannya.
"Len!" Kaito mengambil tombak dan melemparnya ke arah Len. Len menangkapnya dengan sigap.
Gakupo berhasil melempar macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu pantang menyerah. Setelah berguling-guling di lantai kayu, ia langsung berdiri lagi dan menggeram ke arah mereka. Len dengan berani mengacungkan tombaknya ke macan kumbang tersebut, tapi macan kumbang itu menamparnya sampai patah.
"Len! Jangan lakuin itu lagi!!" teriak Kaito. Berdiri di depannya, menakut-nakuti macan kumbang itu dengan menyentak-nyentakkan tombaknya ke depan. "Kamu turun sekarang! Turun!!"
"A, apa.. Aku nggak bisa bantu?"
"Len! Kamu harus turun.. Lari, selamatkan diri." Gakupo menyeret Len dan mendorongnya ke pintu keluar.
"Tapi aku mau bantu.." Len ngotot. Masuk lagi ke ruangan.
"Len jangan!!" Kaito berteriak. Macan kumbang itu tiba-tiba menerpa Len dan menerkamnya. Berusaha mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Len mendorongnya ke atas dengan sekuat tenaga. Sampai macan kumbang itu mencakarnya di dadanya. "Ah!" Len kesakitan, tapi mencoba menahannya. Dan sebagai penyelamat Kaito mendorong macan itu ke samping.
Len berguling-guling dengan ke arah dapur, mengambil pisau sebanyak mungkin, lalu berdiri sambil memegangi dadanya yang berdarah. Kaito dan Gakupo sedang memerangi macan kumbang itu dari samping kanan dan kiri, berputar dalam bentuk lingkaran untuk mengawasi kemana serangan selanjutnya. Len ngos-ngosan, menentukan targetnya dan bersiap melempar salah satu pisau untuk mengenainya.
Oke.. Jangan sampai kena Kak Kaito dan Om Gakupo. Ia berdoa dalam hati. Ia membidik bagian samping macan kumbang itu, berharap pisau itu akan menembus ke organ dalam lewat sela-sela tulang rusuknya. Ia menarik napas, dan melemparnya.
Pisau itu menerjang udara dengan cepat, hampir mengenai Gakupo yang dengan sigap menghindarinya. Tapi macan kumbang itu lebih tajam penglihatannya, ia menunduk dan pisau itu hanya menggores punggungnya. Macan kumbang itu memandang Len, dengan murka dan balas dendam, seolah-olah Len adalah target utama dan akan menjadi makan malamnya hari ini. Len melempar salah satu pisau ke arah moncong macan tutul itu, dan pisau itu mengenai matanya. "RAAAAAURGH!!" Macan kumbang itu meraung dengan keras, menjatuhkan pisau itu yang tidak menancap terlalu dalam. Dengan membabi buta macan kumbang itu berlari ke arah Len, meloncat dan menerkamnya sambil meraung. Tapi tepat waktu, Gakupo berdiri di depan Len dan mendorong Len kencang ke belakang ke arah jendela utara, dan Len, yang kehilangan keseimbangan, jatuh..

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

Meiko dan Valshe tiba di pulau tujuan mereka. Meiko mengambil teropong, dan mengarahkannya ke arah pohon besar di tengah pulau. Tepat ketika ia melihat titik kecil yang kuning-putih terjatuh ke bawah, dan setelah diarahkannya ke samping, ia melihat rumah pohon besar. Meiko terkejut. "Valshe! Valshe! Ini pulaunya!!"
Valshe, yang sedang memarkir speedboat dan mendorongnya ke arah pepohonan, hanya berkata. "Dari mana kamu tau?" tanyanya santai.
"Ini!!" Meiko berlari dan memberikan teropongnya kepada Valshe, lalu menariknya ke tempat tadi ia berdiri. "Itu!! Pohon gede!" Meiko menunjuk. "Ada rumah pohonnya! Kita harus ke sana!"
Valshe mengarahkan teropong ke arah yang ditunjuk Meiko. Dan tersentak. "Mereka lagi diserang!"
"Apa??! Diserang? Yang bener aja She." Meiko merebut teropong itu dan memosisikan di depan matanya. Ia melihat titik biru dan ungu dan titik hitam. "Oya!! Ya ampun.."
Tiba-tiba.. "Auuuuuuuuu!" terdengar suara serigala.
"Oke, ini.. Buruk." kata Valshe.

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-

"Aaaaaaa.." Len terjatuh. Dia mengira dia akan mati, terjatuh melayang-layang di udara dan melihat puncak pohon terlihat semakin jauh di atas. Rambutnya terbang-terbang, badannya bergesekan dengan udara, segalanya terasa slow motion, intinya, dia yakin hari itu adalah hari kematiannya. Tapi tiba-tiba, BRUK!! Len terjatuh di cabang pohon kecil, cabang pohon itu mulai patah, yaa.. Menerima tekanan seperti itu. Tapi sebelum membiarkan dirinya terjatuh untuk kedua kalinya, Len menjatuhkan 3 dari 5 pisau yang dibawanya, memegang dua pisau di dua tangannya, dan menancapkannya dalam-dalam pada batang pohon baobab besar tersebut, membiarkan cabang yang tadi menahannya jatuh ke bawah. 
"I'm alive!!!" teriaknya, bergelantungan di tengah-tengah pohon, ternyata ia sudah setengah jalan jatuh ke bawah. Dia melihat ke bawah, tinggiiii.. "Ehh.. Okay.." katanya menelan ludah. "Harus.. hati-hati.." Ia mencoba turun sambil mencari pijakan.

Sementara itu..

"Gakupo!! Kenapa Len didorong??" Kaito mengomelinya, berbicara tanpa mengalihkan perhatian dari macan kumbang.
"Biar dia keluar." Gakupo menjawab singkat, maju menyerang macan kumbang, dalam hal ini ia memang lebih agresif dari Kaito.
"Len bisa mati!!" Kaito berteriak frustrasi. 
"I'm alive!!!" terdengar teriakan Len dari bawah.
"Nggak tuh." Gakupo tersenyum, sementara di depan mukanya si macan kumbang terus mendorong dan mencoba menerkam lehernya. 
Kaito kicep. "Okay let's finish this." Ia mengamati Gakupo dan macan kumbang itu. "Gakupo.. Kita lakuin yang pernah kita lakuin dulu." katanya.
"Maksudmu.. Itu??" 
"Iyaaa!!" Kaito mengambil posisi, ia mundur beberapa langkah. Gakupo pun mendorong macan kumbang itu dan mementalkannya, kemudian mundur beberapa langkah. Sampai posisi mereka seperti garis lurus, masing-masing di pinggir ruangan, dengan si macan kumbang di tengah. Si macan kumbang kebingungan, bergantian menengok ke arah Kairo, Gakupo, Kaito, Gakupo. Memutuskan yang mana yang lebih lemah dan mudah dimangsa, akhirnya, ia memilih Kaito. Ia berlari, terus berlari dan meloncat dengan posisi menerkam, di belakangnya Gakupo berlari kencang. Ketika macan kumbang ingin menerkam, Kaito mengarahkan tombaknya ke atas, dan Gakupo menghunuskan tombaknya ke bawah, dan.. Clep!! Macan kumbang itu terjatuh ke lantai dengan bunyi bruk!!
"Yess!" Kaito dan Gakupo tos di udara, lalu mengambil tombak mereka yang dilumuri darah macan kumbang. "Kita bersihin nanti, sekarang.. Len.." Gakupo berjalan ke jendela utara, memandang ke bawah. "Len!!" panggilnya.
Tak ada jawaban, mungkin Len sudah sampai di bawah. Gakupo pun mengikuti Kaito yang sudah mulai menuruni tangga. 
"Kak Kaito!! Om Upo!!" Len, yang sudah sampai di bawah duluan, menyambut mereka di dasar tangga, membawa kelima pisau yang dipungutnya dari rumah pohon. "Sudah mati kah dia?"
"Beres Leeen!!" Kaito turun dan lari memeluk Len. -_-
"Aaah Kak Kaito ini lebay banget sih -_- Aku nggak papa kok." kata Len, mendorongnya pelan.
Gakupo menggelengkan kepala. Lalu melihat sekeliling. "Kaito, Len, awas!!" Gakupo berteriak.
Len dan Kaito mundur, di belakang mereka, sekawanan serigala menggeram dan mendekati mereka, menggigit-gigit di udara dan menjatuhkan air liur, kira-kira jumlahnya 12.
"Apa lagi ini??" kata Gakupo. "Semuanya, naik lagi ke rumah pohon!!" 
Kaito dan Len berlari ke tangga. Mereka naik, Gakupo, Len lalu Kaito. Baru beberapa kali naik, "Aaaau!!" Kaito menjerit, salah satu serigala menggigit kakinya. "Len!! Upo!!" Tolooong!!" teriaknya. Kaito menarik kaki Len, lalu Len menarik kaki Gakupo, lalu tangga untuk naik ke atas tersebut patah. Mereka terjatuh. Bruk!!
Ketika jatuh, tangga tali itu membelit-belit mereka, dan para serigala langsung menyerbu mereka.
"Aaaaa.." Mau tak mau mereka berteriak menerima serbuan para serigala tersebut. Tapi Len dengan sigap menggunakan pisaunya untuk memotong sulur-sulur tangga agar mereka bisa melepas, lalu Gakupo dan Kaito mendorong para serigala itu ke depan.
Kaki kanan Kaito berdarah-darah. Dengan sedikit terpincang-pincang ia maju lalu mengarahkan tombaknya pada para serigala tersebut. Len pun mengacungkan pisau terbesar yang ia punya ke arah serigala. Dan Gakupo, yang belum terluka, mengambil beberapa pisau dari Len dan hanya mengatakan. "Lari.."

Gakupo, Len dan Kaito berlari. Len memegangi dadanya dan Gakupo membantu Kaito berlari karena ternyata gigitannya cukup parah. Para serigala mengikuti mereka, berlari dan menggigit-gigit di udara. Mengepung mereka dari segala arah, sampai mereka akhirnya sampai di suatu tanah lapang yang mirip sabana.
Kaito dan Len makin tidak mengerti mengapa Gakupo membimbing mereka ke sini, tapi itu sebenarnya ide bagus karena mereka tak bisa melihat apa-apa di tengah hutan, disebabkan kanopi dedaunan jauh di atas mereka. Apalagi serigala-serigala bisa sembunyi di balik pohon-pohon lalu menerkam mereka dari belakang. Sekarang, walaupun mereka terlihat seperti sasaran empuk, setidaknya sekarang ada 3 pasang mata yang bisa mengawasi dari segala arah.
Serigala-serigala itu mengepung mereka. Gigi-gigi mereka yang tajam dan air liur mereka yang menetes-netes menambah kesan mengerikan pada penampakan mereka. Sementara mereka merapatkan diri mengelilingi ketiga Vocaloid tersebut, mereka semua berdiri membelakangi masing-masing dan Gakupo berbisik.. "Kalo kita mati hari ini, seenggaknya kita mati bersama."
"Seraaang!!" teriak Kaito.

To be continued..

Terjebak di Pulau (part 2)

Posted by :

Unknown

Date:

Senin, 12 Mei 2014

0 komentar
 *ahaha maap kalo baru dilanjutin, kesannya udah basi yaa ._.*

Rumah pohon itu besaaaaaaar.. Bertengger di puncak pohon baobab, dengan tangga tali yang terbuat dari sulur-sulur yang dicabut dari pohon beringin. Kira-kira tingginya 5 meter dari tanah. Kaito dan Gakupo membimbing Len naik tangga, padahal Len masih terbengong-bengong bahkan ketika baru melihat bagian luar rumah pohon itu. Ketika sudah di atas, semuanya menjadi lebih luar biasa. Temboknya terbuat dari kayu cokelat tua yang dijajarkan membentuk lingkaran sempurna. Disisakan satu lubang di salah satu sisinya sebagai pintu masuk ke dalam. Pintu masuknya berupa tirai yang terbuat dari daun-daun yang digantung dari atas. Di bagian dalam, seperti terlihat dari luar, merupakan ruangan besar berbentuk lingkaran sempurna yang tidak dipisahkan oleh dinding. Dengan beberapa lubang sebagai jendela, satu yang besar di timur dan barat, dan yang kecil di sebelah utara dan selatan. Jendela itu juga diberi tirai dari sulur pohon beringin, tetapi bisa ditarik ke pinggir apabila ingin membuka jendela. Di salah satu sisi rumah, terdapat suatu tempat yang terlihat seperti dapur, dengan alat-alat mirip pisau yang terbuat dari batuan yang diasah sedemikian runcing. Di area sebelahnya, lebih mirip kamar. Ada dua tumpukan daun-daun yang ditata mirip kasur dan daun yang diikat tebal menyerupai bantal. Dan sisanya merupakan tempat kosong yang.. Entahlah. Mungkin biasa digunakan untuk bermain-main. Di jendela utara, terdapat semacam katrol dengan tali dari sulur pohon dan benda mirip ember untuk mengambil air dari sungai di bawah. Rupanya Kaito dan Gakupo berhasil memilih lokasi yang sangat strategis: pohon tertinggi di pulau, terletak di tengah pulau, dekat sungai sehingga memudahkan mereka jika ingin mengambil air atau mandi atau keperluan lainnya, dan sepertinya jauh dari ancaman predator, atau mungkin pulau itu bebas predator. Len masih terkagum-kagum..
"WOOOOW!! This.. This is awesome!!" jeritnya. "Kenapa jendela di barat dan timur gede? Kenapa jendela yang di utara selatan kecil?? Aaaah ya ampuun.. Terus, ini dapur??" Len berlari ke arah dapur. "Ya ampuun.. Ada talenan, ada pisaunya.. Waaah.. Pisaunya, serasa di Zaman Batu. Terus, ini kasur, empuuuuuuk!!" Len berjalan di kasur daun itu, lalu meloncat-loncat di atasnya. "Ini.." Len berjalan ke jendela berkatrol. "Buat ngambil air di bawah.. And it's working!!!" kata Len sambil memain-mainkan katrolnya. "Butuh berapa lama buat mbangun rumah ini kak??" 
"Hmm.. Kira-kira 2 sampe 3 bulanan lah.. Arsitekturnya keren kan hehehe." jawab Gakupo sambil memuji-muji hasil karyanya.
"Kak Miku, Kak Meiko, Rin dan Tante Luka bener-bener harus liat ini!! Mereka harus ke sini!! Waaah.." Len lari-lari mondar-mandir keliling rumah.
Kaito dan Gakupo bertukar pandang sedih. "Kecil harapannya mereka bakal ke sini Len." kata Kaito dengan senyum sedih.
"Ya.. Entahlah, mungkin tempat ini terlalu terpencil sampe-sampe helikopter aja nggak mungkin lewat sini." tambah Gakupo. "Waktu awal-awal kita terjebak di sini, kita ngabisin 2 bulan pertama keliling pulau bikin api unggun, nunggu helikopter dateng. Nggak jarang kita ngebangun patung dari daun yang kita nyalain api di puncaknya, buat sinyal minta tolong. Tapi nggak pernah ada yang dateng." jelasnya.
"Kita putus asa, dan akhirnya kita mbangun rumah di sini, kita udah nggak pernah berharap bakal bisa balik lagi." ujar Kaito sedih.
Len manggut-manggut. "Tapi sekarang aku di sini! Ini pertanda baik. Kita harus pulang!" serunya.
"Gimana Len? Ini pulau terpencil in the middle of nowhere dan percaya sama aku.. Kita terjebak di sini. Trapped! No way out! Cut out from this world! Never gonna make it there.." kata Gakupo sambil melirik jendela.
"Aaaah!! Ini bukan kalian!! Kak Kaito dan Om Gakupo yang aku kenal, bukan kayak gini.." ujar Len kecewa.
"Kita amnesia Len, jangan salahin kita." kata Gakupo ketus.
"Aku serius.." Len menarik Kaito dan Gakupo secara paksa untuk duduk di tengah ruangan. "Mungkin aku harus nyeritain beberapa kutipan hidup kalian.."
Kaito terdiam, menatap Len dengan serius. Tetapi Gakupo hanya memberi tatapan 'trust-me-kid-you-will-never-get-out-of-this-island' yang sinis.
"Oke. Aku akan memulai dari Kak Kaito.. Ehem.." Len berdeham. "Kak Kaito hidup miskin. Kak Kaito adalah anak kelima dari 9 bersaudara. Delapan cewek, 1 cowok. Kak Kaito selalu kerja keras untuk menghidupi mereka. Ya emang nggak cuman kakak doang yang kerja, tapi diantara yang lain, pekerjaan Kak Kaito sebagai artis paling mapan. Kak Kaito rela malu-maluin depan umum biar dapet uang, banyak video dan foto-foto kakak yang di situ foto kakak lagi apes. Lalu, waktu dapetin Kak Miku.. Ahaaaaa ini favoritku.. Ya aku tau kakak orangnya payah, polos, hmmm, hampir nggak bisa diandalkan, hampir nggak ada romantis-romantisnya.. Eeee jangan marah.." Len panik melihat ekspresi Kaito yang 'sepayah-itukah-aku'.
"Iya oke. Lanjut." ujar Kaito cepat.
Len melanjutkan. "Ya.. Tapi kalo depan Kak Miku, Kak Kaito bisa jadi penyelamat. Tau-tau bisa jadi gagah dan keren. Misalnya waktu Kak Miku hampir dirampok penjahat, Kak Kaito langsung ke depannya Kak Miku, habis itu mengorbankan es krim mahal yang baru dibeli ke muka perampoknya dan kabur. Kakak itu paling suka es krim vanila, sampe beli banyak yang nggak gampang meleleh, mengorbankan uang tabungannya yang dikumpulin susah payah dan.."
"Oke. Lalu, apa hebatnya?" potong Gakupo. "Itu cuman kabur dari perampok dan mengalihkan perhatian dengan es krim. Semua orang juga bisa."
"Ta.. tapi.." Len terbata-bata.
"Kamu mau ngomong kayak gimana juga, kita nggak akan pernah bisa keluar dari pulau ini. Kita terkutuk di sini, nggak akan bisa balik, sampe kapanpun! Stop giving hopes when there's none!!" Gakupo langsung bangkit.
"Lho? Po, mau kemana?" Kaito berusaha mencegah.
"Cari makan. Udah sana kamu sambut tamu kita dulu." Gakupo memalingkan wajah dengan cuek lalu mengambil tombak *ternyata ada tombak juga* lalu turun dari rumah pohon.

Sunyi.. Krik krik krik..

Len terkejut. Apa yang baru saja dia katakan?
"Maaf Len, dia emang kayak gitu." Kaito tersenyum malu.
"Ya, aku kenal. Om Gakupo emang agak sensitif, sedikit belagu dan keras kepala. Tapi aku masih nggak paham kenapa dia tau-tau langsung marah kayak gitu." kata Len.
"Yaaa.. Waktu dulu, dia lah yang paling bersemangat untuk keluar dari sini. Bikin kapal yang ujung-ujungnya selalu bocor, bikin patung. Kamu kira itu ideku? Bukan, itu ide dia. Dia bilang 'Biru! Tiap malem aku selalu mimpiin pesta pernikahanku, dan aku mikir, ini bukan sekadar mimpi. Istriku di sana and who knows I already have a kid, dan aku harus ke mereka! Mumpung aku masih hidup. Gimana dengan kehidupan mereka sehari-hari? Apakah damai, bisa makan ato nggak? Kamu mungkin nggak akan pernah percaya tentang mimpiku, nggak percaya cowok kayak aku bisa nikah juga, tapi aku yakin mereka di sana. Keluargamu juga disana Ru!!' dia ngomelin aku kayak gitu waktu aku udah putus asa. Jujur aja, padahal aku nggak pernah bilang kalo aku nggak percaya cowok kayak dia bisa nikah, haha. Tapi intinya setelah 2 bulan, dia nyerah. Sebelum bener-bener nyerah, dia tau-tau ngilang selama 1 hari. Aku emang nemuin dia, tapi waktu aku liat, dia lagi nangis histeris di suatu tempat yang agak tersembunyi, sambil mukul-mukul sekelilingnya, ya aku langsung kabur aja. Lalu beberapa jam kemudian, dia balik ke tempat aku sama dia biasa istirahat dan dia bilang ke aku 'Ya udah Ru. Ayo bikin rumah pohon.' gitu." Kaito bercerita.
"Wew." Len kicep. "Segitunya."
"Ya.. Begitulah. Udah sekarang kita tunggu dia aja." kata Kaito sambil merebahkan tubuhnya.
"Mmmm.. Apakah nggak sebaiknya kita kejar?" usul Len.
"Jangan." jawab Kaito. "Kalo kita kepencar, dia malah marah nantinya. Biarin aja. Dia bakal balik sebelom matahari terbenam."
"Hmm.. Oke.." Lalu Len berjalan ke arah jendela barat, memandangi pemandangan pulau di bawahnya.
"Oya Len.. Istrinya Gakupo, kayak apa dia?" tanya Kaito santai.
"Oooh.. Tante Luka.. Tante Luka itu cantik, elegan, sensual.."
"Hahay sensual. Kamu kecil-kecil udah ngerti sensual aja. Pantes Gakupo mau." tegur Kaito.
"Tapi aku serius kak. Tante Luka itu sensual dan cantik. Terus baik, pengertian. Agak tinggi, rambutnya pink panjang dan selalu diurai. Dan jujur, kalo diliat-liat, mereka pasangan yang cocok." jelas Len.
"Lalu.. Pacarku?? Gimana pacarku? Mei.. Mi.. Siapa namanya? Miku? Miku kan? Ya, dia gimana?" Kaito bertanya dengan semangat.
"Ahahahaha. Cantik, rambutnya tosca panjang dan selalu diiket 2, polos, baik. Wkwkwkwk." Len mulai menjelaskan.
"Waaaa.. Persis kayak di mimpiku." Kaito berteriak lalu mengambil salah satu bantal daun dan memeluk-meluknya. "Hubunganku dan dia lancar kan??"
"Lancar lancar.. Hahaha." jawab Len. "Tapi.."
"Tapi apa??" Kaito bangkit, penasaran.
"Ahahahaha. Kalo berantem kalian lucu.." kata Len.
"Aaaah Len!! Cerita sama aku lebih banyak!!"
Dan mereka menghabiskan sisa hari bercerita dan tertawa. Sedangkan Gakupo, yaah.. Berburu -_-"

-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-(*)-


Meiko berjalan ke anjungan kapal lagi. Hari masih pagi ketika itu dan Rin dan yang lainnya belum bangun tidur. Jujur saja, semalaman mereka semua menangis tersedu-sedu dan baru berhenti pada pukul 2 pagi. Dan sekarang, dengan tekad baru, Meiko memutuskan untuk mencari sendiri 'keluarga'nya yang hilang.
Ia menaiki tangga menuju anjungan, menemui Nahkoda Oliver yang sedang duduk santai sambil minum kopi dan melihat ke jendela depan. Ketika pintu dibuka, spontan Oliver langsung menengok ke belakang. Agak terkejut melihat ternyata Meiko yang memasuki anjungannya. Ia langsung bangkit, menghadap Meiko.
Ia meminta maaf, "Saya turut menyesal atas kehilangan.."
"Saya ingin mencari mereka." potong Meiko, bersedekap sambil menatap lurus ke Oliver dengan ketus.
"A.. Apa?" Oliver tersentak.
"Saya ingin mencari mereka." jelas Meiko. "Anda tahu, keluarga saya yang hilang dalam kapal ini." Meiko memberi penekanan pada tiga kata terakhir. "Saya baru sadar bahwa Anda adalah seorang nahkoda yang tidak bertanggung jawab, membiarkan penumpang Anda hanyut begitu saja dalam badai besar sedangkan Anda yang merupakan Kapten kapal ini baik-baik saja dan malah menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari. Anda bahkan tidak melakukan pencarian apa-apa terhadap penumpang Anda yang hanyut dari kapal ini. Jadi saya berpikir tidak ada gunanya berharap pada Anda, dan saya ingin mencari mereka sendiri, tanpa bantuan Anda."
"Ta.. Tapi Bu.. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi." Oliver menolak. "Badai bisa terjadi lagi, dan jika saya mengizinkan Bu Meiko mencari mereka sendiri, sama saja dengan saya membunuh.."
"Anda sudah membunuh saya dari dulu." potong Meiko pedas. "Kehilangan keluarga sendiri, itu membunuh kami semua dari dalam. Anda tidak perlu merasa bersalah lagi jika pada kenyataannya saya nanti tidak bisa kembali dari pencarian saya. Dan saya tidak menerima jawaban 'tidak' dari Anda. Saya minta sekoci. Speedboat lebih baik jika Anda memilikinya. Saya juga bersedia membayar.. Lima puluh ribu yen. Cukup kah?" Meiko mulai meraih dompetnya.
"Tapi.. Saya tidak bisa mengizinkan Anda turun kapal begitu saja dan memulai pencarian terhadap keluarga Anda." tolak Oliver tegas.
"Ooo jadi 50 ribu belum cukup? Ya sudah, kalau begitu, 100 ribu?" Meiko menyerahkan segepok uang dari dompetnya.
"Ah Bu Meiko, saya tak ingin uang Anda!" Oliver mundur selangkah sambil mengedepankan kedua tangannya dengan gerakan menolak.
"Lalu apa yang Anda inginkan?? Anda ingin membunuh saya??" bentak Meiko dengan tatapan kejam.
"Aduuh.. Bukan begitu. Saya harus menjamin keamanan Anda."
"Lalu mengapa Anda tidak menjamin keamanan keluarga saya 5 bulan lalu dan kemarin malam?"
"Terjadi badai Bu Meiko. Saya harus mengutamakan keselamatan penumpang saya yang masih selamat. Yang masih di kapal ini, maafkan saya. Tapi Anda tidak bisa egois seperti itu!"
"Apa?! Anda bilang saya egois?? Jawab saya Nahkoda Oliver, jawab saya!!" Lalu Meiko melunakkan suaranya. "Apa yang akan Anda lakukan jika Anda menjadi saya? Keluarga Anda hilang, hanya karena seorang nahkoda yang sangat tidak bertanggung jawab, yang cukup bodoh untuk mengulang melewati area dimana sering terjadi badai, dan kedua kalinya menghanyutkan penumpangnya? Apa yang akan Anda lakukan??"
Oliver tidak menjawab. Lidahnya beku. Suaranya tersekat. Sebersit kesedihan tiba-tiba muncul di matanya.
"Jawab saya Nahkoda Oliver!!! Jawab saya!!" Meiko berteriak.
"Saya tidak tahu Bu Meiko!!" Oliver balas berteriak. "Saya tidak tahu.." Suaranya melunak. "Maafkan saya karena sudah berteriak." Ia menarik napas. Dengan frustrasi mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangannya, dan jatuh terduduk di kursi nahkoda. "Keluarga saya juga hilang pada kecelakaan badai Bu Meiko."
Meiko terdiam. Merasa bersalah karena telah membentaknya tadi. "Lalu.. Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Itu adalah tahun pertama saya menjadi nahkoda. Ketika itu terjadi badai besar dan saya mengajak keluarga saya ikut berlayar. Orangtua saya lebih tepatnya. Saat itu terjadi badai besar, tiba-tiba salah satu asisten saya berteriak bahwa keluarga saya hanyut di lautan. Saya memaksakan kehendak saya untuk menyelamatkan mereka, dan saya memberhentikan kapal. Sekoci diturunkan, sebenarnya asisten saya sudah mengingatkan bahwa sebaiknya kapal tidak boleh berhenti. Lagipula, hanya 2 orang yang hanyut. Tapi saya tidak mengindahkannya. Tetapi beberapa menit kemudian saya sadar bahwa dia benar, badai mengamuk lebih keras, orangtua saya hilang dan ombak menenggelamkan seluruh kapal dan penumpang lainnya. Saya beruntung karena ketika kapal tenggelam, saya berada di luar dan saya langsung berenang ke atas." Oliver berhenti sebentar. "Saya terombang-ambing selama beberapa hari sampai akhirnya seseorang menemukan saya dan saya dibawa ke pulau terdekat. Tapi intinya adalah.. Saya nahkoda, tetapi saya selamat sedangkan yang lain tidak. Saya sangat menyesal, saya berpikir ingin bunuh diri tapi.. Jika begitu hidup saya akan lebih sia-sia." Oliver berhenti. "Begitulah ceritanya Bu."
Terjadi keheningan selama beberapa detik. Lalu, akhirnya Meiko berbicara. "Saya turut menyesal atas kejadian itu Pak Oliver, hanya saja.." Meiko berhenti, mencari kata-kata yang tepat. "Saya yakin mereka masih hidup. Dan, sebelum saya menyesal seumur hidup - sekali lagi maafkan saya - saya ingin benar-benar memastikan apakah mereka masih hidup atau tidak. Firasat saya mengatakan bahwa mereka terdampar di sebuah pulau terpencil, saya tidak tahu apakah ini benar atau hanya firasat, tetapi saya ingin mencobanya. Saya mohon Nahkoda Oliver.. Saya yakin Anda pasti mengerti."
Oliver menarik napas. "Ya.. Saya mengerti." Ia menoleh ke Meiko. "Saya punya teman, ia bekerja di kapal ini. Dulu dia bekerja di tim yang mencari korban kecelakaan kapal atau pesawat yang hilang. Tapi sekarang ia bekerja di Maintenance Room, Anda bisa menemuinya. Ini kartu namanya." Oliver memberi sebuah kartu nama kecil ke Meiko.
"Terima kasih banyak Nahkoda Oliver. Berapa saya harus membayar Anda?" Meiko menerima kartu itu sekaligus menjabat tangan Oliver.
"Tidak perlu Bu Meiko. Tidak perlu." Oliver tersenyum. "Ketika Anda sudah bertemu dengan teman saya, bilang saja saya sudah menyediakan speedboat di Special Room. Dan bilang saja saya meminta dia menemani Anda mencari keluarga Anda."
"Oh.." Meiko tersentak. "Tak perlu repot-repot Nahkoda Oliver, saya.."
"Dia sudah berpengalaman Bu Meiko." potong Oliver. "Dan saya memaksa. Dia harus menemani Anda, saya yakin dia tidak akan keberatan. Mencari orang hilang sudah seperti petualangan baginya."
"B.. Baiklah.. Terima kasih banyak Nahkoda Oliver." Meiko meraih dompetnya dan menyerahkan uang lima ribu yen. "Kumohon diterima Nahkoda Oliver, saya memaksa!" Lalu Meiko bergegas keluar dari anjungan kapal tanpa menunggu jawaban dari Oliver.

Tok tok tok. Meiko mengetuk pintu di Maintenance Room. Pintu langsung terbuka dan seorang.. Entahlah.. Seorang berambut pirang pendek yang dipotong seperti laki-laki menyambutnya. "Ya?" suara wanita yang agak berat menyambutnya.
Meiko menelan ludah. "Ehem.. Saya mencari.. Hmm.." Meiko kesulitan membaca nama di kartu nama.
"Oh.. Anda pasti Bu Meiko." Ia keluar dari Maintenance Room.
"Yyya.. Benar." Meiko mengiyakan. "Apa Anda.."
"Ya. Benar." Orang itu memotong dengan cepat sebelum Meiko berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Tadi saya habis dari Ruang CCTV dan saya melihat Anda berbicara dengan Nahkoda Oliver. Lalu Nahkoda Oliver terlihat seperti mengeluarkan kartu nama saya. Mengapa dia menyuruh Anda menemui saya?"
Terkejut dengan sikap orang baru ini yang terkesan agak lancang, Meiko langsung menjawab. "Keluarga saya hilang. Lalu.."
"Ooo. Dia menyuruh saya menemani Anda mencari mereka?" tanyanya.
"I, iya." jawab Meiko.
"Kalau begitu ikut saya. Ke 'Special Room' kan?" Ia tersenyum.
Meiko masih speechless. Ada apa dengan orang ini? -_-" Mengapa dia selalu memotong perkataannya?
"Hei, gantikan aku ya. Aku ada misi spesial dari Oliver." Si rambut pirang berteriak ke dalam Maintenance Room. Dan samar-samar terdengar suara laki-laki yang berkata "Okee.." dari dalam. Lalu ia berjalan keluar dari Maintenance Room dan menjabat tangan Meiko.
"Perkenalkan.. Nama saya Valshe."


To be continued..

Copyright © 2012 Vocaloid Daily Story | Len Kagamine Theme Designed by Rine